Bagi penyandang amputasi kaki, kaki prostetik dibutuhkan sebagai alat bantu untuk
menunjang kesejahteraan hidup. Namun, penggunaan rancangan kaki prostetik
khususnya bagi penyandang amputasi atas lutut atau transfemoral amputee (TFA),
masih menimbulkan banyak permasalahan, salah satunya gangguan cara berjalan
(gait). Untuk memperbaiki cara berjalan, diperlukan pelatihan yang mampu
mendorong adaptasi pengguna. Terdapat dua metode pelatihan berjalan yaitu
pelatihan overground dan treadmill. Pelatihan treadmill lebih praktis dan aman,
tetapi membutuhkan perancangan lebih lanjut agar pengalaman berjalan tidak
berbeda jauh dengan overground dan tidak monoton untuk menjaga motivasi
pelatihan. Penelitian ini mengusulkan integrasi sistem pelatihan berjalan
menggunakan treadmill dengan teknologi Virtual Reality (VR) yang dilengkapi
dengan Kinect sebagai teknologi deteksi gerak untuk mengatasi masalah tersebut.
Penggunaan VR diusulkan karena memiliki potensi untuk menyediakan lingkungan
yang bervariasi dan menyerupai tugas riil sehingga diharapkan dapat meningkatkan
motivasi pelatihan dan performa berjalan. Dengan sistem ini, dapat diberikan
stimulus dari lingkungan virtual yang diolah oleh sistem kognitif manusia untuk
mengubah gerak motorik.
Dalam integrasi VR pada sistem pelatihan berjalan, terdapat dua masalah yang
dihadapi, yaitua menghasilkan rancangan sistem pelatihan berbasis VR dan
menjalankan skenario tugas berjalan. Dari penelitian sebelumnya, rancangan sistem
pelatihan berjalan berbasis VR sangat beragam. Dibutuhkan rancangan sistem VR
yang yang mampu mengukur performa berjalan, menghasilkan VR sickness dan
kelelahan dalam batasan yang aman, serta memberikan pengalaman berupa
presence yang lebih baik. Dibutuhkan juga rancangan skenario tugas mampu
mengubah cara berjalan pengguna. Untuk menjawab kedua permasalahan yang ada,
dilakukan dua tahapan besar dalam pada penelitian ini, yaitu perancangan sistem
VR dan pengembangan skenario tugas.
Perancangan sistem VR dilakukan dengan merancang sistem konseptual yang
dilanjutkan dengan eksperimen untuk menjawab beberapa kebutuhan yang masih
membutuhkan analisis lebih lanjut. Rancangan konseptual didasarkan pada analisis
sistem pelatihan eksisting, yang menghasilkan tujuh kebutuhan. Dari rancangan
sistem konseptual, terdapat lima kebutuhan yaitu kemampuan mengukur parameter
berjalan, menghasilkan VR sickness yang rendah, kelelahan dalam batas aman, dan
memiliki presence yang tinggi, dan kemampuan menjalankan skenario yang dapat
memengaruhi cara berjalan yang masih harus diuji ketercapaiannya. Kemampuan
mengukur parameter berjalan diuji dengan melihat pengaruh variabel individu dan
teknologi deteksi gerak terhadap parameter berjalan yang dihasilkan. Analisis VR
sickness dan kelelahan diukur dengan melihat pengaruh dari variabel individu dan
durasi penggunaan. Analisis presence dilakukan dengan menguji pengaruh variabel
individu terhadap faktor presence. Kemampuan memengaruhi cara berjalan dilihat
dari pengaruh variabel skenario yaitu stimulus visual dan stimulus audio terhadap
parameter cara berjalan.
Eksperimen dilakukan dengan melibatkan 16 TFA dan 16 orang normal, seluruhnya
laki-laki. Pengumpulan data dilakukan dalam dua sesi. Di sesi pertama, partisipan
berjalan selama 70 detik di atas treadmill menggunakan VR Head Mounted Display
(HMD). Dilakukan pengukuran parameter spatiotemporal Kinect dan Vicon motion
capture. Data partisipan normal dan TFA dibandingkan untuk mengidentifikasi
parameter performansi berjalan. Pada sesi kedua, partisipan berjalan di atas
treadmill selama 40 menit dengan 12 skenario berjalan yang disusun secara
random. Selama eksperimen, cara berjalan diukur menggunakan motion capture
Kinect dan Vicon. Setiap 10 menit, diukur stabilitas postural dengan force plate,
VR sickness dengan Virtual Reality Sickness Questionnaire (VRSQ), dan tingkat
kelelahan dengan Borg Rating of Perceived Exertion (RPE). Pada akhir sesi,
pengalaman partisipan dinilai menggunakan Presence Questionnaire (PQ). Data
VR sickness, kelelahan, dan stabilitas postural untuk orang normal dan TFA di
setiap titik pengukuran dibandingkan untuk melihat pengaruh variabel independen
durasi dan individu terhadap ketiga variabel dependen tersebut.
Pengolahan data skenario tugas dilakukan dengan memanfaatkan data pada
eksperimen yang sama. Pada eksperimen tersebut, partisipan berjalan dengan 12
skenario, diantaranya dengan perubahan visual dan audio. Stimulus visual
menyimulasikan kondisi berjalan menanjak, mendatar, menanjak 10o
dan menurun
10o dengan tujuan membiasakan pengguna kaki prostetik berjalan di jalan yang
tidak rata. Stimulus audio menyimulasikan kondisi berjalan tanpa audio, dengan
audio yang ritmenya sesuai step time, dan audio yang diperlambat 15%. Tujuan
pelatihan menggunakan audio adalah untuk meningkatkan simetri langkah. Masing-
masing perlakukan dijalankan selama 3 menit. Data rata-rata 20 siklus berjalan
dibandingkan untuk melihat pengaruh skenario berjalan dengan stimulus visual dan
audio terhadap parameter berjalan.
Dari penelitian ini, dihasilkan rancangan sistem VR dan skenario tugas pelatihan
yang mampu memengaruhi cara berjalan pengguna. Sistem VR yang hasilkan
mampu menyimulasikan 12 skenario tugas berjalan di atas treadmill. Lingkungan
virtual dipaparkan secara visual dengan VR Head Mounted Display (HMD). Sistem
diintegrasikan dengan Kinect motion capture sebagai sensor gerakan dan
dilengkapi dengan body harness untuk keselamatan pengguna. Dihasilkan juga
panduan untuk pengembangan dan pemanfaatan sistem berjalan berbasis VR yaitu:
1) Penggunaan parameter cadence, step time, step length, stride length, % opposite
foot contact untuk pengukuran performansi berjalan TFA; 2) Kinect mampu
mendeteksi adanya gangguan pada step time, stride length dan step length TFA,
tetapi hasil pengukuran tidak presisi terhadap Vicon sebagai gold standar. Untuk
itu, penggunaan Kinect sebagai sensor dengan pertimbangan kepraktisan
membutuhkan pengembangan lebih lanjut; 3) Karena durasi pelatihan berpengaruh
signifikan terhadap peningkatan keluhan VR sickness, kelelahan, dan stabilitas
postural, maka durasi pelatihan perlu diperhatikan, utamanya bagi TFA. Batas
durasi pelatihan yang direkomendasikan adalah 30 menit; 4) Presence yang dialami
oleh TFA tidak berbeda signifikan dengan orang normal sehingga tidak dibutuhkan
perhatian khusus bagi TFA, meskipun demikian, faktor adaptation dan interface
quality dari hasil rancangan perlu lebih diperhatikan karena belum memenuhi
target. Hasil uji terhadap skenario berjalan menunjukkan bahwa stimulus visual
mampu menyimulasikan kondisi berjalan menanjak dan menurun. Stimulus audio
berpotensi untuk meningkatkan asimetri langkah dengan adanya perubahan strategi
berjalan yang dihasilkan, meskipun demikian, dibutuhkan pengulangan sesi
pelatihan.
Penelitian ini memberikan kontribusi penting dalam mendorong adopsi teknologi
baru dalam praktik klinis untuk meningkatkan kualitas hidup pasien amputasi.
Penelitian ini dapat menjadi panduan dalam mengembangkan sistem pelatihan
berjalan berbasis VR diantaranya dalam penentuan parameter performansi,
pertimbangan dalam memilih teknologi pendeteksi gerak, menentukan durasi
pelatihan yang aman berdasarkan VR sickness dan kelelahan, serta panduan terkait
faktor presence. Penelitian ini juga memberikan alternatif skenario tugas yang
terbukti efektif memengaruhi cara berjalan TFA.