digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Abstrak
PUBLIC Open In Flip Book Dewi Supryati

Bagi penyandang amputasi kaki, kaki prostetik dibutuhkan sebagai alat bantu untuk menunjang kesejahteraan hidup. Namun, penggunaan rancangan kaki prostetik khususnya bagi penyandang amputasi atas lutut atau transfemoral amputee (TFA), masih menimbulkan banyak permasalahan, salah satunya gangguan cara berjalan (gait). Untuk memperbaiki cara berjalan, diperlukan pelatihan yang mampu mendorong adaptasi pengguna. Terdapat dua metode pelatihan berjalan yaitu pelatihan overground dan treadmill. Pelatihan treadmill lebih praktis dan aman, tetapi membutuhkan perancangan lebih lanjut agar pengalaman berjalan tidak berbeda jauh dengan overground dan tidak monoton untuk menjaga motivasi pelatihan. Penelitian ini mengusulkan integrasi sistem pelatihan berjalan menggunakan treadmill dengan teknologi Virtual Reality (VR) yang dilengkapi dengan Kinect sebagai teknologi deteksi gerak untuk mengatasi masalah tersebut. Penggunaan VR diusulkan karena memiliki potensi untuk menyediakan lingkungan yang bervariasi dan menyerupai tugas riil sehingga diharapkan dapat meningkatkan motivasi pelatihan dan performa berjalan. Dengan sistem ini, dapat diberikan stimulus dari lingkungan virtual yang diolah oleh sistem kognitif manusia untuk mengubah gerak motorik. Dalam integrasi VR pada sistem pelatihan berjalan, terdapat dua masalah yang dihadapi, yaitua menghasilkan rancangan sistem pelatihan berbasis VR dan menjalankan skenario tugas berjalan. Dari penelitian sebelumnya, rancangan sistem pelatihan berjalan berbasis VR sangat beragam. Dibutuhkan rancangan sistem VR yang yang mampu mengukur performa berjalan, menghasilkan VR sickness dan kelelahan dalam batasan yang aman, serta memberikan pengalaman berupa presence yang lebih baik. Dibutuhkan juga rancangan skenario tugas mampu mengubah cara berjalan pengguna. Untuk menjawab kedua permasalahan yang ada, dilakukan dua tahapan besar dalam pada penelitian ini, yaitu perancangan sistem VR dan pengembangan skenario tugas. Perancangan sistem VR dilakukan dengan merancang sistem konseptual yang dilanjutkan dengan eksperimen untuk menjawab beberapa kebutuhan yang masih membutuhkan analisis lebih lanjut. Rancangan konseptual didasarkan pada analisis sistem pelatihan eksisting, yang menghasilkan tujuh kebutuhan. Dari rancangan sistem konseptual, terdapat lima kebutuhan yaitu kemampuan mengukur parameter berjalan, menghasilkan VR sickness yang rendah, kelelahan dalam batas aman, dan memiliki presence yang tinggi, dan kemampuan menjalankan skenario yang dapat memengaruhi cara berjalan yang masih harus diuji ketercapaiannya. Kemampuan mengukur parameter berjalan diuji dengan melihat pengaruh variabel individu dan teknologi deteksi gerak terhadap parameter berjalan yang dihasilkan. Analisis VR sickness dan kelelahan diukur dengan melihat pengaruh dari variabel individu dan durasi penggunaan. Analisis presence dilakukan dengan menguji pengaruh variabel individu terhadap faktor presence. Kemampuan memengaruhi cara berjalan dilihat dari pengaruh variabel skenario yaitu stimulus visual dan stimulus audio terhadap parameter cara berjalan. Eksperimen dilakukan dengan melibatkan 16 TFA dan 16 orang normal, seluruhnya laki-laki. Pengumpulan data dilakukan dalam dua sesi. Di sesi pertama, partisipan berjalan selama 70 detik di atas treadmill menggunakan VR Head Mounted Display (HMD). Dilakukan pengukuran parameter spatiotemporal Kinect dan Vicon motion capture. Data partisipan normal dan TFA dibandingkan untuk mengidentifikasi parameter performansi berjalan. Pada sesi kedua, partisipan berjalan di atas treadmill selama 40 menit dengan 12 skenario berjalan yang disusun secara random. Selama eksperimen, cara berjalan diukur menggunakan motion capture Kinect dan Vicon. Setiap 10 menit, diukur stabilitas postural dengan force plate, VR sickness dengan Virtual Reality Sickness Questionnaire (VRSQ), dan tingkat kelelahan dengan Borg Rating of Perceived Exertion (RPE). Pada akhir sesi, pengalaman partisipan dinilai menggunakan Presence Questionnaire (PQ). Data VR sickness, kelelahan, dan stabilitas postural untuk orang normal dan TFA di setiap titik pengukuran dibandingkan untuk melihat pengaruh variabel independen durasi dan individu terhadap ketiga variabel dependen tersebut. Pengolahan data skenario tugas dilakukan dengan memanfaatkan data pada eksperimen yang sama. Pada eksperimen tersebut, partisipan berjalan dengan 12 skenario, diantaranya dengan perubahan visual dan audio. Stimulus visual menyimulasikan kondisi berjalan menanjak, mendatar, menanjak 10o dan menurun 10o dengan tujuan membiasakan pengguna kaki prostetik berjalan di jalan yang tidak rata. Stimulus audio menyimulasikan kondisi berjalan tanpa audio, dengan audio yang ritmenya sesuai step time, dan audio yang diperlambat 15%. Tujuan pelatihan menggunakan audio adalah untuk meningkatkan simetri langkah. Masing- masing perlakukan dijalankan selama 3 menit. Data rata-rata 20 siklus berjalan dibandingkan untuk melihat pengaruh skenario berjalan dengan stimulus visual dan audio terhadap parameter berjalan. Dari penelitian ini, dihasilkan rancangan sistem VR dan skenario tugas pelatihan yang mampu memengaruhi cara berjalan pengguna. Sistem VR yang hasilkan mampu menyimulasikan 12 skenario tugas berjalan di atas treadmill. Lingkungan virtual dipaparkan secara visual dengan VR Head Mounted Display (HMD). Sistem diintegrasikan dengan Kinect motion capture sebagai sensor gerakan dan dilengkapi dengan body harness untuk keselamatan pengguna. Dihasilkan juga panduan untuk pengembangan dan pemanfaatan sistem berjalan berbasis VR yaitu: 1) Penggunaan parameter cadence, step time, step length, stride length, % opposite foot contact untuk pengukuran performansi berjalan TFA; 2) Kinect mampu mendeteksi adanya gangguan pada step time, stride length dan step length TFA, tetapi hasil pengukuran tidak presisi terhadap Vicon sebagai gold standar. Untuk itu, penggunaan Kinect sebagai sensor dengan pertimbangan kepraktisan membutuhkan pengembangan lebih lanjut; 3) Karena durasi pelatihan berpengaruh signifikan terhadap peningkatan keluhan VR sickness, kelelahan, dan stabilitas postural, maka durasi pelatihan perlu diperhatikan, utamanya bagi TFA. Batas durasi pelatihan yang direkomendasikan adalah 30 menit; 4) Presence yang dialami oleh TFA tidak berbeda signifikan dengan orang normal sehingga tidak dibutuhkan perhatian khusus bagi TFA, meskipun demikian, faktor adaptation dan interface quality dari hasil rancangan perlu lebih diperhatikan karena belum memenuhi target. Hasil uji terhadap skenario berjalan menunjukkan bahwa stimulus visual mampu menyimulasikan kondisi berjalan menanjak dan menurun. Stimulus audio berpotensi untuk meningkatkan asimetri langkah dengan adanya perubahan strategi berjalan yang dihasilkan, meskipun demikian, dibutuhkan pengulangan sesi pelatihan. Penelitian ini memberikan kontribusi penting dalam mendorong adopsi teknologi baru dalam praktik klinis untuk meningkatkan kualitas hidup pasien amputasi. Penelitian ini dapat menjadi panduan dalam mengembangkan sistem pelatihan berjalan berbasis VR diantaranya dalam penentuan parameter performansi, pertimbangan dalam memilih teknologi pendeteksi gerak, menentukan durasi pelatihan yang aman berdasarkan VR sickness dan kelelahan, serta panduan terkait faktor presence. Penelitian ini juga memberikan alternatif skenario tugas yang terbukti efektif memengaruhi cara berjalan TFA.