digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

ABSTRAK Banu Wijaya Yonas
PUBLIC Rita Nurainni, S.I.Pus

Sea-breeze mempengaruhi cuaca skala meso dan iklim lokal melalui terbentuknya sea-breeze circulation (SBC) dan sea-breeze front (SBF). Dengan banyaknya pulau di Benua Maritim Indonesia (BMI), maka fenomena sea-breeze berperan penting dalam pola konveksi diurnal di BMI. Di bagian barat P. Jawa (khususnya di sekitar Jakarta), pebentukan SBC paling jelas teramati pada bulan Juli hingga September atau Oktober saat aktivitas konvektif paling sedikit. Namun demikian, pada periode Juli-Agustus-September (JAS) curah hujan di Jawa bagian barat lebih tinggi dibanding daerah lain di P. Jawa. Kajian sebelumnya di India tropis menunjukan bahwa sea-breeze kuat berasosiasi dengan deep convection yang lebih intens. Namun penelitian yang sama masih terbatas di wilayah Jawa bagian barat. Oleh karena itu, perlu dilihat karakteristik sea-breeze dan deep convection serta bagaimana pengaruh sea-breeze dalam pembentukan deep convection. Dengan menganalisis angin permukaan dan kelembapan relatif yang diamati di dua titik di Jakarta periode Juni - September (JJAS) tahun 2017 – 2021, waktu intrusi dan kecepatan propagasi sea-breeze dapat diestimasi. Karakteristik spasio-temporal deep convection diinvestigasi menggunakan metode PyFLEXTRKR berdasarkan data Blackbody Temperature (TBB) yang diperoleh dari citra satelit Himawari-8 kanal inframerah. Untuk analisis lebih detail terkait hubungan sea-breeze dengan deep convection, data hasil simulasi WRF digunakan pada penelitian ini. Secara umum sea-breeze terjadi di KKP sekitar pukul 9 LT dan di LLH pada pukul 11 LT. Semakin siang waktu intrusi sea-breeze maka kecepatan propagasi cenderung semakin meningkat. Selain itu terdapat variasi kecepatan propagasi sea-breeze pada rentang 1,7 km/jam hingga 16,9 km/jam. Frekuensi aktivitas konvektif pada periode JJAS masih cukup tinggi terutama di wilayah selatan Jakarta dan barat daya Banten. Berdasarkan hasil deteksi, frekuensi DCS di periode JJAS paling banyak terjadi pada pukul 17 LT hingga 18 LT dengan lokasi favorit pembentukanya ada di wilayah selatan Jakarta dan barat daya Banten. Ukuran DCS bervariasi dari ratusan hingga belasan ribu km^2. Saat sea-breeze berpropagasi dengan cepat DCS mencapai luas maksimum di wilayah dekat pesisir selatan, sementara saat kecepatan propagasinya rendah-sedang DCS dominan terbentuk di tengah pulau. Studi kasus terkait hubungan kecepatan propagasi sea-breeze dengan DCS menunjukkan kasus sea-breeze kuat berasosiasi dengan DCS yang luas, sementara untuk kasus sea-breeze lemah DCS di lokasi studi tidak terbentuk. Hasil simulasi model WRF yang digunakan untuk analisis mampu merepresentasikan sea-breeze dengan baik ditunjukan dengan sirkulasi yang terlihat dan convergence lines yang mampu menunjukan waktu intrusi SBF sesuai dengan data observasi. Analisis lebih lanjut memperlihatkan bahwa sea-breeze cepat mampu mencapai daratan dengan jarak yang lebih jauh sehingga membentuk konvergensi dengan aliran udara dari selatan yang menginisiasi pembentukan DCS. Selain itu sea-breeze yang berpropagasi lebih cepat disertai dengan kondisi atmosfer yang mendukung untuk pembentukan DCS. Hal ini mengindikasikan bahwa sea-breeze cepat mendukung kondisi atmosfer tidak stabil yang kondusif untuk pembentukan deep convection.