Kota Semarang, Jawa Tengah, memiliki morfologi yang kompleks dan dinamis akibat interaksi antara berbagai budaya yang berakulturasi. Kota ini, yang mencerminkan campuran budaya lokal dan pendatang dari berbagai kelompok etnis dan agama, mengalami transformasi signifikan menjadi metropolitan. Proses ini termasuk perkembangan kampung-kampung kota, seperti Kampung Pecinan, Kampung Arab, Kampung Bugisan, dan Kampung Melayu, yang mencerminkan kehidupan dengan tradisi lokal yang masih hidup. Namun, pertumbuhan kota dan peningkatan populasi menyebabkan munculnya permasalahan terkait kualitas lingkungan dan infrastruktur, serta pembentukan kawasan kumuh (Budihardjo, 1997).
Kampung Melayu, sebagai salah satu kampung kota tertua di Kawasan Kota Lama Semarang, menghadapi tantangan signifikan terkait kepadatan penduduk, kekurangan ruang terbuka, dan fasilitas dasar yang minim. Data Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Semarang tahun 2021 menunjukkan luas kawasan kumuh mencapai 178,11 hektare, dengan Kecamatan Semarang Utara sebagai kawasan terluas (86,78 hektare), diikuti oleh Kecamatan Semarang Barat (34,12 hektare) dan Kecamatan Semarang Tengah (28,77 hektare). Masalah tersebut diperburuk oleh kondisi bangunan yang tidak terawat, infrastruktur yang terbatas, dan sanitasi yang buruk.
Pemerintah Kota Semarang telah melaksanakan berbagai inisiatif untuk meningkatkan kualitas fisik kawasan, termasuk program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU). Program ini bertujuan untuk memperbaiki infrastruktur, sanitasi, dan penataan kawasan, tetapi sering kali menghadapi tantangan seperti gentrifikasi. Gentrifikasi berpotensi menggeser penduduk asli karena kenaikan biaya hidup akibat investasi dan pendatang baru dengan daya beli tinggi. Inisiatif lain termasuk transformasi kampung kota menjadi destinasi wisata tematik, seperti Kawasan Kota Lama Semarang yang diakui oleh UNESCO sebagai Kawasan Cagar Budaya. Pendekatan ini berupaya memanfaatkan potensi lokal dari warisan budaya, kuliner, topografi, dan kehidupan sosial untuk menarik wisatawan dan meningkatkan ekonomi. Namun, program ini harus lebih dari sekadar penataan fisik; perlu mengakomodasi kebutuhan spasial masyarakat, sesuai dengan pandangan Bhatt et al. (1990), yang menekankan pentingnya memenuhi kebutuhan spasial penduduk.
Untuk mengatasi keterbatasan fasilitas dan mendukung berbagai aktivitas sosial-budaya serta ekonomi di Kampung Melayu, tesis ini mengusulkan penerapan community center. Fasilitas ini dirancang sebagai pusat multifungsi yang menyediakan ruang untuk kegiatan sosial, budaya, pendidikan, dan ekonomi. Community center juga dapat mendukung usaha kecil dan potensi seni budaya lokal, serta berfungsi sebagai simbol inklusi dan dukungan terhadap keberagaman.
Pendekatan placemaking diterapkan dalam perancangan community center untuk menciptakan ruang yang lebih hidup dan interaktif. Placemaking fokus pada pembentukan ruang yang mendukung interaksi sosial dan komunikasi, sehingga meningkatkan kualitas tempat dan mendukung pengembangan potensi lokal. Dalam konteks Kampung Melayu, penerapan pendekatan ini bertujuan untuk menghidupkan kembali kegiatan masyarakat, merangsang aktivitas baru, dan meningkatkan daya tarik wisata serta keberlanjutan kawasan.
Dengan pendekatan ini, community center tidak hanya berfungsi sebagai fasilitas fisik, tetapi juga sebagai katalisator untuk revitalisasi kawasan, pemeliharaan identitas lokal, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di Kampung Melayu Semarang. Melalui integrasi prinsip-prinsip placemaking, diharapkan community center dapat menciptakan pusat kegiatan yang dinamis dan berdaya tarik, serta memberikan kontribusi positif terhadap pembangunan sosial dan ekonomi di Kampung Melayu.