Perkembangan teknologi dan perubahan lingkungan mendorong manusia untuk menciptakan model bisnis yang berbasis teknologi dan ramah lingkungan, seperti sharing economy. Model bisnis sharing economy muncul pada tahun 2010-an, menggunakan teknologi dan sumber daya yang menganggur atau tidak terpakai untuk mengubah sumber daya yang dapat dioptimalkan kembali oleh orang-orang yang membutuhkan. Sharing economy sering dikaitkan dengan istilah collaborative consumption. Collaborative consumption merupakan bagian dari sharing economy, yang lebih fokus pada pola konsumsi berkelanjutan. Dengan demikian, collaborative consumption erat kaitannya dengan nilai-nilai lingkungan dan sosial. Istilah sharing economy pada penelitian-penelitian sebelumnya sudah banyak digunakan. Sebaliknya, penelitian collaborative consumption mengeksplorasi paradigma mikro pola konsumsi baru yang lebih ramah lingkungan dan masih perlu dikaji.
Penelitian collaborative consumption mengkaji sektor transportasi, akomodasi, dan fashion. Pada saat yang sama, masih sedikit penelitian collaborative consumption di sektor pangan, yang terutama menganalisis collaborative consumption berdasarkan kompensasi moneter. Sebaliknya, penelitian collaborative consumption nonmoneter masih kurang dan perlu diteliti lebih lanjut. Sektor pangan menarik untuk dikaji, khususnya mengenai pengelolaan limbah makanan yang mempunyai dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan. Indonesia membuang 11 juta potong roti, kue, dan kue kering setiap minggunya. Dengan demikian, Indonesia menghasilkan 292.000 metrik ton emisi CO2 setiap tahunnya. Mayoritas sampah makanan yang dibuang ke tempat pembuangan sampah akan menghasilkan gas metana (CH4), karbon dioksida (CO2), dan klorofluorokarbon (CFC), yang meningkatkan suhu atmosfer bumi sehingga mengakibatkan pemanasan global dan perubahan iklim. Oleh karena itu, pengendalian sisa makanan dan pencegahan dini harus diteliti lebih lanjut. Berbagi makanan merupakan salah satu cara untuk mengendalikan dan mengurangi sampah makanan. Pengelolaan limbah pangan melalui pencegahan dan redistribusi sejalan dengan tujuan PBB yang tertulis dalam Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya pencapaian SDGs 2 dan 12 tentang nihil kelaparan serta konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab.
Bank makanan adalah organisasi nirlaba yang mengumpulkan kelebihan makanan dari rumah tangga, individu, pengecer, perusahaan, dan lainnya dan mendistribusikannya kembali kepada mereka yang membutuhkan. Bank pangan merupakan alat yang menjembatani produsen hulu yang berperan sebagai pemasok kelebihan pangan dengan masyarakat yang membutuhkan dan kesulitan mengakses pangan. Kegiatan bank makanan sejalan dengan beberapa sustainable development goals (SDGs), termasuk SDG 2 untuk mengakhiri kelaparan, SDG 12 untuk memastikan pola konsumsi dan produksi berkelanjutan, dan SDG 12.3 untuk mengurangi limbah makanan di tingkat ritel dan konsumen. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan teori konsumsi kolaboratif non- moneter jangka menengah dengan menggunakan teori pertukaran social (SET), teori praktik social (SPT), dan model proses bisnis Supplier-Input-Proses-Output- Client (SIPOC): studi kasus ganda pangan perbankan di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode analisis kualitatif dengan pendekatan strategi studi kasus pada enam bank makanan di Indonesia.
Hasil dari penelitian ini adalah tujuh proposisi middle-range theory dari non- monetary collaborative consumption: (1) Dimensi teori pertukaran sosial berkontribusi terhadap proses bisnis bank makanan, termasuk biaya (termasuk pengeluaran operasional, transportasi, dan peralatan dan perlengkapan). ) dan manfaatnya (termasuk mengurangi kelaparan dan sisa makanan); (2) Tiga dimensi teori praktik sosial: materi (transportasi, infrastruktur TIK, penyimpanan pangan, dan pendanaan), kompetensi (kemampuan komunikasi, kemampuan pengelolaan pangan, kesadaran sosial, dan tim kolaboratif), dan makna (sosial, lingkungan, dan nilai keagamaan) berkontribusi terhadap proses bisnis bank pangan; (3) Pemasok Foodbank adalah donatur pangan yang meliputi korporasi, organisasi nirlaba, dan individu yang mempengaruhi proses bisnis bank pangan; (4) Penerima pangan merupakan aktor penting yang berperan dalam penyerapan kelebihan pangan dan pengurangan sampah pangan, berkontribusi dalam proses bisnis bank pangan; (5) Infrastruktur TIK, transportasi, gudang, penyimpanan makanan, terkait dapur, dan pendanaan merupakan sumber daya yang mempengaruhi proses bisnis bank makanan; (6) Penapisan, distribusi, penilaian penerima manfaat dan donor, kampanye, dan pelatihan pangan merupakan proses yang dapat mempengaruhi hasil; (7) Bank Pangan melakukan evaluasi untuk meningkatkan kinerja proses bisnis