Sektor maritim menjadi sektor penting bagi Indonesia karena memberikan sumber daya alam
yang melimpah seperti ikan dan hasil laut lainnya. Seiring berjalannya waktu, masalah
penangkapan ikan ilegal semakin marak di perairan Indonesia seiring dengan pertumbuhan
industri perikanan. Pada tahun 2021 di Selat Malaka, KKP telah menangkap 135 kapal terdiri
dari 88 kapal ikan Indonesia yang melanggar ketentuan dan 47 Kapal Asing yang mencuri ikan.
Selat Malaka juga merupakan jalur pelayaran yang sangat ramai, sehingga berpotensi menjadi
sumber konflik untuk negara-negara sekitar Selat Malaka maupun para pengguna selat. Akan
tetapi batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) indonesia di Selat Malaka belum ditetapkan dan
sengketa ini sudah terjadi sangat lama sejak tahun 1969. Indonesia menginginkan adanya dua
batas yang berbeda sedangkan Malaysia ingin batas landas kontinen sekaligus dijadikan
sebagai batas ZEE. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan batas ZEE Indonesia –
Malaysia menggunakan metode ekuivalen sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa.
Prinsip ekuivalen merupakan modifikasi dari prinsip equidistant yang garis hasil equidistant
digeser sehingga menghasilkan luas laut kedua negara memiliki luasan yang sama. Prinsip
ekuivalen diterapkan berdasarkan kearifan lokal Indonesia dalam membagi lahan tanah dengan
luasan yang sama. Indonesia menggunakan Garis Pangkal Lurus Kepulauan sedangkan
Malaysia menggunakan Garis Pangkal Lurus yang ditarik dari mainland. Hasil prinsip
equidistant, Indonesia akan mendapatkan wilayah laut sebesar 38846 km2 dan Malaysia akan
mendapatkan wilayah laut sebesar 36716 km2. Wilayah laut Indonesia lebih luas dibandikan
Malaysia dengan selisih sebesar 2130 km2. Berdasarkan hasil prinsip ekuivalen, maka luas ZEE
Indonesia dan Malaysia menjadi 37781 km2. Jika ditambahkan dengan perairan pedalaman,
wilayah laut sebesar 46968 km2 dan Malaysia akan mendapatkan wilayah laut sebesar 46915
km2 dengan selisi 53 km2.