Model prediksi Sub-Seasonal to Seasonal (S2S) telah dikembangkan tetapi belum
dijalankan secara operasional oleh National Hydrometeorological Services
(NHMS) di seluruh dunia karena keterbatasan sk prediksi. Namun demikian, belum
ada evaluasi komprehensif terhadap prediksi curah hujan S2S di Indonesia. Dalam
penelitian ini, skill model prediksi S2S ECMWF (European Centre for MediumRange
Weather Forecasts) di Indonesia dievaluasi menggunakan tiga metrik yang
umum digunakan, yaitu Root Mean Squared Error (RMSE), bias, dan korelasi,
dengan data National Centers for Environmental Prediction- National Center for
Atmospheric Research (NCEP-NCAR) Reanalysis I sebagai representasi observasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa evolusi skill prediksi curah hujan serta angin
850 hPa di Indonesia menurun tajam pada minggu kedua. Meskipun hasilnya
konsisten dengan domain global dan tropis secara keseluruhan, ditemukan juga
bahwa skill prediksi menunjukkan ketergantungan yang kuat pada variasi musiman
dan variabel tertentu dengan prediktabilitas angin zonal 850 hPa yang lebih tinggi
selama periode Maret-April-Mei (MAM) dan Juni-Juli-Agustus (JJA). Di sisi lain,
skill prediksi angin meridional 850 hPa menunjukkan skill yang lebih tinggi selama
MAM dan September-Oktober-November (SON), sementara skill prediksi curah
hujan lebih baik dibandingkan lainnya selama Desember-Januari-Februari (DJF).
Pemeriksaan lebih lanjut terhadap angin 850 hPa dan curah hujan sebagai sumber
potensial prediktabilitas dilakukan dengan menghilangkan komponen musiman dan
menerapkan analisis Empirical Orthogonal Function (EOF) pada data. Hasilnya
menunjukkan bahwa tidak ada pola dominan tunggal dalam variabilitas curah hujan
S2S. Namun demikian, beberapa EOF terbesar dianalisis lebih detail. Analisis lagcorrelation
antara Principal Component (PC) curah hujan dan angin 850 hPa
menunjukkan bahwa Madden-Julian Oscillation (MJO) yang bergerak ke timur,
serta gelombang Equatorial Rossby yang bergerak ke barat, mungkin menjadi
sumber prediktabilitas S2S. Selain itu, persentase terbesar dari curah hujan EOF
terkait dengan propagasi MJO ke arah timur. Studi kasus peristiwa curah hujan pada
27 Mei hingga 14 Juli 2015 menunjukkan bahwa angin zonal 850 hPa merupakan
prediktor yang paling relevan untuk pola curah hujan, tetapi prediktabilitas angin
zonal ditemukan lemah selama periode MJO aktif. Studi kasus lain terkait peristiwa
hujan lebat pada 29 Januari 2020 menunjukkan pengaruh propagasi gelombang
Equatorial Rossby (ER) ke barat. Dalam kasus ini, curah hujan tampak menjadi prediktor terbaik untuk gelombang ER yang memiliki bilangan gelombang tinggi.
Namun, prediktabilitas gelombang ER juga lemah di sekitar waktu peristiwa
konvektif.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa prediksi curah hujan S2S di Indonesia
masih merupakan tantangan yang signifikan. Seperti yang ditemukan dalam studi
sebelumnya, penelitian ini mengkonfirmasi bahwa variabilitas curah hujan S2S
terbesar dipengaruhi oleh fenomena MJO. Selain itu, peristiwa konvektif yang lebih
sporadis dapat dikaitkan dengan propagasi gelombang ER yang memiliki bilangan
gelombang tinggi. Dalam kedua kasus tersebut, skill model prediksi S2S masih
terbatas dalam merepresentasikan propagasi gelombang MJO dan ER selama fase
konvektif aktif. Oleh karena itu, penerapan prediksi S2S di Indonesia mungkin
memerlukan pemrosesan lanjutan yang lebih canggih dari keluaran model untuk
meningkatkan akurasi dan skill-nya. Penelitian ini berfokus pada skill deterministik
dan belum membahas skill probabilistik dari prediksi S2S.