digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

ABSTRAK - Nurul Wahyuni
PUBLIC Alice Diniarti

Produk perawatan gigi dan mulut yang biasa digunakan untuk mencegah pembentukan biofilm pada gigi umumnya mengandung Sodium lauryl sulfate (SLS) yang dapat menyebabkan reaksi alergi dan infeksi pada mukosa mulut. Biosurfaktan (BS) dan minyak atsiri kayu manis (MA) dapat menjadi salah satu alternatif yang lebih aman karena keduanya merupakan bahan alami dengan toksisitas yang rendah dan memiliki kemampuan sebagai antimikroba. Kombinasi keduanya yang dibentuk dalam nanoemulsi dapat meningkatkan efektifitasnya sebagai antimikroba serta meningkatkan efisiensinya sebagai produk perawatan gigi dan mulut. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan karakterisasi dan identifikasi bakteri penghasil biosurfaktan, melakukan screening biosurfaktan dan minyak atsiri kayu manis dalam menghambat pertumbuhan Candida albicans, produksi dan karakterisasi nanoemulsi, serta melihat kemampuan antibiofilmnya terhadap C. albicans. Penelitian ini menggunakan 5 isolat bakteri yang telah diketahui memiliki kemampuan dalam menghasilkan biosurfaktan. Isolat bakteri tersebut dikarakterisasi berdasarkan karakteristik makroskopis, mikroskopis, dan diidentifikasi menggunakan gen penanda 16 S rRNA. Dilakukan uji MIC untuk menyeleksi minyak atsiri kayu manis dan spesies bakteri yang menghasilkan biosurfaktan yang mampu menghambat pertumbuhan C. albicans. Biosurfaktan terpilih kemudian dikarakterisasi dengan analisis FTIR, LC-MS, IFT, dan uji toksisitas dengan uji BST. Pembuatan nanoemulsi menggunakan metode low energy (NEL) dan high energy (NEH) pada konsentrasi biosurfaktan 100 ppm, 50 ppm, 25 ppm, dan 12,5 ppm yang dicampurkan dengan 5600 ppm minyak atsiri kayu manis. Nanoemulsi kemudian dikarakterisasi dengan uji PSA, Zeta potential, serta uji ksetabilan dengan uji freeze-thaw, sentrifugasi, dan inkubasi pada suhu berbeda (4 OC, 25 OC, dan 37 OC) selama 30 hari. Terakhir, dilakukan uji MBIC dan MBEC untuk melihat kemampuan nanoemulsi dalam menghambat pembentukan dan eradikasi biofilm. Berdasarkan hasil screening, biosurfaktan Bacillus altitudinis terpilih sebagai penghambat pertumbuhan C. albicans terbaik dengan konsentrasi minimum 312,5 ppm (P > 0,05). Sedangkan konsentrasi minimum minyak atsiri kayu manis yang dapat menghambat pertumbuhan C. albicans adalah 220 ppm. Ukuran kelima formulasi NEH berkisar antara 213 nm – 232 nm, sedangkan pada NEL ukurannya berkisar antara 405 nm – 567 nm dengan nilai zeta potensial keduanya ?-30 mV (P >0,05). Setelah 24 jam, pada nanoemulsi NEL terjadi pemisahan fase, sedangkan NEH tidak terjadi pemisahan fase bahkan hingga hari ke-30 kecuali pada perlakuan freeze-thaw dan inkubasi suhu 37 OC. Konsentrasi minimum nanoemulsi NEH dan NEL yang dapat menghambat pembentukan biofilm adalah 25 ppm BS + 5600 ppm MA kayu manis (P < 0,05) dengan persentase penghambatan NEH sebesar 30% dan NEL sebesar 10%. Konsentrasi minimum eradikasi biofilm oleh nanoemulsi NEH dan NEL adalah 12,5 ppm BS + 5600 ppm MA Kayu manis (P > 0,05), dengan persentase eradikasi NEH sebesar 20% dan NEL sebesar 12%. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa nanoemulsi NEH lebih stabil dibandingkan nanoemulsi NEL dan memiliki persentase lebih tinggi dalam menghambat pertumbuhan, pembentukan, dan eradikasi biofilm C. albicans.