Obat merupakan komponen esensial dalam pelayanan kesehatan yang tidak dapat
digantikan, sehingga ketersediaannya menjadi aspek penting. Penelitian ini
mengidentifikasi beberapa masalah utama, yaitu kelebihan stok yang menyebabkan
obat kedaluwarsa, kekurangan stok yang mengurangi tingkat pelayanan, serta
kendala dalam menentukan ukuran lot pemesanan yang optimal. Kendala tersebut
mencakup pertimbangan kuantitas minimum pemesanan, kuantitas diskon, dan
kapasitas transportasi yang belum diatasi. Penelitian ini bertujuan untuk
meminimalkan total ongkos inventori dengan menangani masalah-masalah yang
telah dijelaskan.
Terdapat dua model acuan yang digunakan pada penelitian ini. Model acuan utama
adalah model inventori obat-obatan yang mempertimbangkan umur simpan, joint
replenishment, dan produk substitusi yang dikembangkan oleh Siregar (2020).
Aspek yang belum teratasi dalam model Siregar (2020) dilengkapi oleh model Liu,
dkk. (2023) sebagai model pendukung, yang mempertimbangkan kuantitas diskon,
kuantitas minimum pemesanan, dan kapasitas transportasi. Model usulan
dikembangkan karena hingga saat ini belum ada penelitian yang mampu
menyelesaikan masalah dalam inventori obat secara komprehensif. Model usulan
akan mengatasi masalah dalam sistem inventori yang mencakup umur simpan, joint
replenishment, produk substitusi, serta mempertimbangkan kuantitas minimum
pemesanan, kuantitas diskon, dan kapasitas transportasi. Objek pada model ini
adalah dua jenis obat berbeda dalam kategori, fungsi, dan komposisi zat aktif yang
serupa atau sama yang saling substitusi.
Model usulan dirancang dengan dua skenario untuk menentukan peran obat, di
mana Skenario 1 terjadi ketika Obat 1 menjadi obat utama dan Obat 2 menjadi obat
pengganti, serta Skenario 2 terjadi ketika peran obat tersebut ditukar. Dalam setiap
skenario terdapat dua kasus untuk menentukan keberadaan obat kedaluwarsa.
Kasus 1 terjadi jika jumlah persediaan habis karena jumlah permintaan sehingga
tidak ada obat kedaluwarsa, sedangkan Kasus 2 terjadi jika jumlah persediaan habis
ii
karena umur simpan sehingga terdapat obat kedaluwarsa. Jika, permasalahan
inventori tergolong ke dalam Kasus 2, maka akan dilakukan dua perlakuan,
perlakuan pertama mempertahankan solusi awal, sedangkan perlakuan kedua
melibatkan perubahan solusi dengan penyesuaian. Kemudian, ongkos total dari
kedua perlakuan tersebut dihitung dan dievaluasi untuk memilih total ongkos
inventori yang paling kecil. Setiap kasus memiliki lima kondisi untuk menentukan
harga beli berdasarkan pemotongan kuantitas diskon, yaitu Tanpa Diskon, Diskon
1 (5%), Diskon 2 (10%), Diskon 3 (15%), dan Diskon 4 (20%).
Berdasarkan hasil perhitungan pada 30 kelompok obat, model usulan menunjukkan
bahwa kebijakan inventori untuk 28 kelompok obat dapat diterapkan tanpa
penyesuaian sementara 2 kelompok obat memerlukan penyesuaian. Dari jumlah
tersebut, 7 kelompok dioptimalkan dengan Skenario 1 Kasus 1, 21 kelompok
dioptimalkan dengan Skenario 2 Kasus 1, sementara 2 kelompok dioptimalkan
dengan Skenario 1 dan Skenario 2 masing-masing kasus 2. Hal ini menunjukan
bahwa Skenario 2 Kasus 1 memiliki kinerja yang lebih baik. Model usulan
menghasilkan ekspektasi total ongkos inventori yang lebih rendah sebesar 53%
dibandingkan kebijakan inventori saat ini. Kebijakan ini menghasilkan
penghematan ongkos pembelian sebesar 45%, ongkos pemesanan sebesar 35%,
penghematan ongkos penyimpanan sebesar 76%, penghematan ongkos kekurangan
sebesar 98%, dan penghematan ongkos kedaluwarsa sebesar 100%. Penghematan
ini dicapai karena model usulan mempertimbangkan kuantitas minimum
pemesanan, kuantitas diskon yang berpengaruh pada ongkos beli, kapasitas
transportasi, serta pertimbangan umur simpan obat, penerapan konsep substitusi
dan joint replenishment, yang mampu memaksimalkan utilitas penggunaan setiap
jenis obat dan waktu siklus yang optimal.