digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Last Glacial Maximum (LGM) merupakan periode bumi pada fase dingin dan terjadi pembentukan masa es di darat dan di laut yang sangat masif pada lintang tinggi. Selama LGM, kondisi iklim di lintang tinggi belahan bumi utara jauh lebih dingin dibandingkan dengan kondisi saat ini. Suhu rata–rata global diperkirakan 3– 6 °C lebih rendah dari suhu modern. Bahkan di daerah tropis, rerata suhu diketahui jauh lebih dingin, berkisar antara 2 dan 3,5 °C di bawah rerata suhu saat ini. Kondisi tersebut dapat memengaruhi sirkulasi arus termohalin global dan juga Arus Lintas Indonesia (Arlindo) yang merupakan bagian dari sirkulasi tersebut. Studi–studi menunjukkan bahwa intensitas Arlindo dan struktur vertikal Arlindo bervariasi secara signifikan dalam skala waktu glasial–interglasial. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa intensitas Arlindo melemah pada periode LGM, namun, hanya sedikit yang diketahui tentang perubahan struktur vertikal dan intensitas Arlindo di Selat Makassar pada periode tersebut. Penelitian ini menyajikan studi proksi berbasis foraminifera planktonik di pintu masuk utama Arlindo yaitu di Selat Makassar. Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi sampel sedimen laut dan data sekunder hasil keluaran model Couple Climate System Model Version 4 (CCSM4). Sebanyak 20 sampel sedimen pada kedalaman 255 – 295 cm dari sedimen laut dengan kode TR1926B (0°13,664' LU/ 117°47,436' BT, kedalaman 616 m) hasil pelayaran TRIUMPH 2019 digunakan sebagai bahan penelitian. Metode yang digunakan dalam analisis sedimen laut TR1926B meliputi penanggalan umur absolut menggunakan AMS14C, analisis Suhu Permukaan Laut (SPL) berdasarkan geokimia Mg/Ca pada Globigerinoides ruber, analisis kelimpahan foraminifera planktonik, serta analisis rasio Log (Zr/Rb). Data keluaran model CCSM4 yang digunakan mencakup data suhu potensial dan kecepatan arus yang diambil pada periode LGM dan Pra-Industri (PI). Data suhu potensial digunakan untuk menentukan kedalaman Depth of Thermocline (DOT) serta menghitung gradien suhu Selatan–Utara (S–N), sementara data kecepatan arus digunakan untuk menghitung transpor volume Arlindo. Analisis paleoseanografi dilakukan dengan mempelajari rentang periode pendinginan LGM, SPL, perubahan DOT, serta intensitas Arlindo di lokasi penelitian. Analisis DOT dilakukan berdasarkan rasio kelimpahan foraminifera planktonik Thermocline Dwellers (TD) dibandingkan Mixed Layer Dwellers (MLD) dan berdasarkan profil vertikal suhu potensial, sedangkan analisis intensitas Arlindo didapatkan dari gradien suhu S – N, transpor volume, serta berdasarkan proksi Log (Zr/Rb). Analisis ini dilakukan untuk mengetahui dinamika Arlindo dan mekanisme yang memengaruhinya selama periode LGM. Periode pendinginan selama LGM yang teridentifikasi di Selat Makassar, khususnya pada lokasi penelitian sedimen laut TR1926B, terjadi antara ~22 hingga 18 ribu thl, dengan puncak pendinginan terjadi sekitar ~19,7 ribu thl. Rerata SPL selama LGM, yang diperoleh melalui analisis geokimia Mg/Ca, adalah 25,72°C, yaitu 3,33°C lebih rendah dibandingkan SPL modern yang mencapai 29,05°C. Analisis kelimpahan foraminifera planktonik menunjukkan dominasi TD selama LGM dibandingkan MLD. Berdasarkan rasio kelimpahan TD terhadap MLD, pendangkalan DOT teridentifikasi pada interval 22,4 – 21,5 ribu thl dan 19,7 – 18 ribu thl di lokasi penelitian. Temuan ini dikonfirmasi oleh data suhu potensial yang menunjukkan pendangkalan DOT sebesar 10 meter dibandingkan dengan kondisi PI. Selanjutnya, intensitas Arlindo diketahui melemah selama LGM, yang ditunjukkan oleh rendahnya gradien suhu S–N dan penurunan transpor Arlindo sebesar -0,24 Sv dibandingkan pada saat PI. Analisis proksi Log (Zr/Rb) menunjukkan bahwa intensitas Arlindo meningkat selama LGM, dengan nilai Log (Zr/Rb) yang lebih tinggi dibandingkan kondisi modern. Namun, peningkatan nilai Log (Zr/Rb) ini diduga lebih berkaitan dengan peningkatan limpasan sungai. Limpasan sungai selama LGM menambah masukan air tawar ke Selat Makassar, yang menyebabkan penurunan salinitas dan peningkatan daya apung, sehingga mengurangi transpor di Selat Makassar