digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Provinsi Papua adalah salah satu wilayah yang memiliki luas hutan lindung terbesar di Indonesia yakni 7,8 juta ha. Namun, tekanan terhadap kawasan hutan untuk perkebunan, pertanian, pertambangan, permukiman, dan kegiatan lainnya menjadi masalah bagi kelestarian hutan. Pengelolaan hutan berbasis masyarakat (PHBM) merupakan salah satu upaya untuk menangani deforestasi atau konversi lahan hutan serta membangun keseimbangan antara konservasi hutan dengan pengentasan kemiskinan. Konsep ini didasari bahwa masyarakat lokal adalah penjaga keanekaragaman hayati sehingga keterlibatan dan kesejahteraan mereka akan memengaruhi bagaimana pemanfaatan sumber daya alam berkelanjutan dapat diterapkan. Keberlanjutan dari PHBM tentunya diharapkan oleh berbagai pihak yang ingin melakukan upaya menjaga kelestarian hutan. Konsep keberlanjutan ini dapat ditinjau melalui konsep resiliensi. Pendekatan ekologis sosial digunakan untuk melihat bagaimana resiliensi masyarakat dalam PHBM tersebut terbentuk. Penelitian ini menggunakan pendekatan sistem ekologis sosial (SES) dengan tujuan mengidentifikasi karakteristik ekologis-sosial masyarakat untuk menentukan bagaimana hubungan masyarakat dengan hutannya, mengidentifikasi guncangan yang terjadi pada hutan masyarakat, dan skoring kerentanan dari masyaakat untuk mendapatkan gambaran kondisi sosial, ekonomi, lingkungan yang rentan pada masyarakat. Selanjutnya, tesis ini menganalisis bagaimana SES berkontribusi terhadap resiliensi masyarakat dalam mengelola hutan di Kampung Soaib dan Sawesuma. Hasil penelitian menunjukkan sistem ekologi sosial (SES) di kedua kampung penelitian terbentuk oleh empat komponen utama yang saling berinteraksi, meliputi sumber daya dalam bentuk hutan, pengguna sumber daya adalah masyarakat kampung, infrastruktur berupa jalan umum, aliran listrik, sinyal jaringan komunikasi, dan penyedia infrastruktur adalah pemerintah pusat, pemda, NGO, dan masyarakat. Masyarakat di kedua kampung bergantung pada hutan termasuk dalam aktivitas sosial dan ekonominya. Guncangan yang terjadi pada hutan di Kampung Soaib adalah adanya penebangan pohon secara ilegal, mengecilnya debit sungai, dan hama kakao pada lahan agroforestri. Guncangan di Sawesuma adalah perluasan perkebunan kelapa sawit, perburuan burung liar, racun ikan, masuknya perusahaan penebangan pohon . Guncangan tidak langsung kepada hutan adalah pergeseran bahan makanan pokok. Skoring kerentanan dengan status sangat rentan (skor 4) untuk kedua kampung antara lain dimensi sosial, yakni tenaga dan fasilitas kesehatan, ketersediaan infrastruktur umum yang masih buruk; dimensi lingkungan yakni ketergantungan terhadap sumber daya, masyarakat sangat bergantung kepada hutan. Status rentan (skor 3) di kedua kampung adalah dimensi ekonomi, pendapatan perkapita perbulan IDR 500.000-1.250.000, dan alternatif mata pencaharian, dimana masyarakat hanya memiliki satu alternatif matapencaharian. Status rentan di Kampung Sawesuma pada dimensi ekonomi yakni akses ke lahan, dimana kurang dari 50% masyarakat bisa mengakses lahan hutan. Masyarakat membangun resiliensinya dengan diversifikasi sumber pendapatan ekonomi lain dengan memanfaatkan diversitas ekosistem, memgang teguh nilai kepercayaan dengan menerapkan sistem hutan keramat sehingga masih ada area konservasi, dan berbagai bentuk pembelajaran transformasi baik integrasi pasar dan pemanfaatan teknologi yang mampu menghindari penebangan pohon secara massif.