digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

ABSTRAK Dhea Ananda Putri
PUBLIC Yoninur Almira

BAB 1 Dhea Ananda Putri
PUBLIC Yoninur Almira

BAB 2 Dhea Ananda Putri
PUBLIC Yoninur Almira

BAB 3 Dhea Ananda Putri
PUBLIC Yoninur Almira

BAB 4 Dhea Ananda Putri
PUBLIC Yoninur Almira

BAB 5 Dhea Ananda Putri
PUBLIC Yoninur Almira

BAB 6 Dhea Ananda Putri
PUBLIC Yoninur Almira

PUSTAKA Dhea Ananda Putri
PUBLIC Yoninur Almira

LAMPIRAN Dhea Ananda Putri
PUBLIC Yoninur Almira

Bangunan berperan 36% dari total konsumsi energi global dan 38%-50% dari total emisi gas rumah kaca. Selain itu, bangunan juga berkontribusi dalam konsumsi air serta menghasilkan sekitar 20% limbah air dan 45%-65% sampah global. Kondisi tersebut memiliki pengaruh signifikan terhadap perubahan iklim, kesehatan, kesejahteraan manusia, dan bencana alam. Penerapan Bangunan Hijau dapat mengurangi total penggunaan energi 30-50%, emisi CO2 hingga 35%, limbah 70%, dan penggunaan air 40%. Implementasi Bangunan Hijau di DKI Jakarta masih rendah jika dibandingkan dengan kota-kota besar di Asia. Banyak negara telah menerapkan insentif Bangunan Hijau untuk mengatasi tantangan dan mendorong implementasi Bangunan Hijau untuk mendukung pembangunan berkelanjutan di sektor konstruksi. Studi ini bertujuan untuk mengidentifikasi hambatan dalam implementasi Bangunan Hijau dan prioritas bentuk insentif untuk mendorong adopsi Bangunan Hijau di DKI Jakarta. Studi ini menggunakan pendekatan mixed method yang menggabungkan metode kuantitatif dengan Analisis Hirarki Proses (AHP) dan metode kualitatif melalui wawancara. Analisis menunjukkan bahwa hambatan utama adopsi Bangunan Hijau di DKI Jakarta adalah kurangnya bentuk insentif, regulasi yang memadai, dan komitmen sektor swasta terhadap keberlanjutan. Berdasarkan hasil AHP, kriteria insentif pajak memiliki bobot tertinggi secara keseluruhan menurut pandangan pemerintah pusat, pihak swasta, dan akademisi, diikuti oleh kriteria bonus kepadatan dan percepatan perizinan. Maka dari itu, Pemprov DKI Jakarta dapat mempertimbangkan pemberian insentif pajak, bonus kepadatan dan percepatan perizinan untuk mempercepat transformasi bangunan konvensional menjadi Bangunan Hijau. Namun, pemberian insentif harus memperhitungkan kemampuan dan otonomi daerah, serta merinci persyaratan, mekanisme, skema, dan instrumen teknis yang menjadi dasar bagi pemberian insentif. Harapannya, temuan ini dapat mendukung pembuat kebijakan dalam pengembangan kebijakan insentif yang efektif untuk mendorong adopsi Bangunan Hijau di Jakarta.