digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

COVER Eliza
PUBLIC Open In Flip Book Alice Diniarti

BAB 1 Eliza
PUBLIC Open In Flip Book Alice Diniarti

BAB 2 Eliza
PUBLIC Open In Flip Book Alice Diniarti

BAB 3 Eliza
PUBLIC Open In Flip Book Alice Diniarti

BAB 4 Eliza
PUBLIC Open In Flip Book Alice Diniarti

BAB 5 Eliza
PUBLIC Open In Flip Book Alice Diniarti

PUSTAKA Eliza
PUBLIC Open In Flip Book Alice Diniarti

Artocarpus yang sehari-hari dikenal dengan tumbuhan jenis nangka-nangkaan, merupakan salah satu genus terpenting dari famili Moraceae. Tumbuhan ini sangat terkenal di Indonesia karena beberapa diantaranya menghasilkan buah yang enak dan bergizi seperti “nangka” (A. heterophyllus), “sukun” (A. communis), and “keluih” (A . altilis). Kayunya telah digunakan sebagai bahan bangunan dan secara luas tumbuhan ini telah pula digunakan dalam ramuan obat tradisional, diantaranya untuk mengobati demam malaria, disentri, TBC, penyakit kulit, diabetes dan antiinflamasi. Sekurang-kurangnya tiga belas spesies Artocarpus Indonesia telah diteliti. Studi fitokimia pada spesies Artocarpus melaporkan bahwa tumbuhan ini kaya akan senyawa fenol terprenilasi, khususnya flavonoid. Senyawa flavonoid terprenilasi ini tidak hanya ditemukan pada bagian akar atau batang tetapi juga pada daun. Beberapa senyawa flavonoid ini memperlihatkan pula beragam aktivitas biologis yang menarik, seperti sifat sitotoksik terhadap beberapa sel line kanker manusia dan tumor, antiplatelet, antiinflamasi, antimalaria, antiviral dan anti TBC. Senyawa flavonoid terprenilasi telah banyak ditemukan pada bagian akar atau batang Artocarpus, namun isolasi senyawa tersebut dari daunnya masih sangat terbatas. Tiga spesies yang telah diteliti memperlihatkan adanya perbedaan pola kimia senyawa fenol yang berasal dari akar atau batang dengan daun. Perbedaan tersebut pertama yaitu pada kerangka flavonoidnya. Flavonoid yang berasal dari daun merupakan kelompok dihidrocalkon, calkon dan flavanon, sedangkan dari akar dan batang umumnya dari kelompok flavon. Perbedaan kedua yaitu pada pola oksigenasi di cincin B pada kerangka flavonoidnya. Pada daun umumnya memiliki mono atau ortodioksigenasi sedangkan pada akar atau batang umumnya dioksigenasi pada posisi C-2’ dan C-4’ atau trioksigenasi pada posisi C-2’, C-4’ dan C-5’. Perbedaan lainnya yaitu posisi terikatnya gugus prenil pada kerangka flavonoidnya. Selain itu, pada daun ditemukan gugus prenil yang terikat di cincin B yang sangat jarang ditemukan pada senyawa flavonoid dari akar atau batang. Berdasarkan latar belakang ini maka tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari profil senyawa fenol pada empat spesies Artocarpus yaitu A. communis, A. altilis, A. kemando dan A. lanceifolius serta menguji sifat sitotoksisitasnya terhadap sel murin leukemia P-388. Berdasarkan keanekaragaman struktur dan data aktivitas yang diperoleh, maka pada penelitian ini telah dikaji juga hubungan antara struktur dan sitotoksisitas dari senyawa turunan fenol yang berhasil diisolasi. Sampel daun A. communis dan A. altilis dikumpulkan dari daerah Sumatera Selatan, A. kemando dari Kebun Raya Bogor di Bogor, dan A. lanceifolius dari Sumatera Barat. Isolasi senyawa turunan fenol pada penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahap pekerjaan, yang meliputi ekstraksi dengan menggunakan teknik maserasi, fraksinasi dan pemurnian senyawa dengan menggunakan berbagai teknik kromatografi. Struktur molekul senyawa hasil isolasi ditentukan berdasarkan data spektroskopi yang meliputi spektroskopi UV, IR, NMR-1D (1H dan 13C), NMR-2D (HMQC, HMBC, NOESY) serta spektroskopi massa resolusi tinggi. Uji sitotoksisitas terhadap sel murine leukemia P-388 dilakukan dengan menggunakan metode MTT [3-(4,5-dimetiltiazo-2-il)2,5-difeniltetrazolium bromida]. Dari studi fitokimia ini, tiga senyawa baru dari kelompok dihidrocalkon telah berhasil diisolasi yaitu artoindonesianin C1 (1), artoindonesianin C2 (2) dan artoindonesianin C3 (3). Ketiga senyawa ini diisolasi dan diidentifikasi bersama-sama dengan sembilan senyawa fenol lain yang telah dikenal. Dua senyawa tersebut yang kelompok dihidrocalkon yaitu AC-5-1 (4), and 4,4’-di-O-metilfloretin (5), empat dari kelompok flavanon yaitu 7,4’-di-O-metilnaringenin (6), 8-isoprenil-4’-Ometilnaringenin (7), 8-geranilnaringenin (8), dan 3’-geranilnaringenin (9), dua senyawa kelompok flavanonol yaitu dihidroikaritin (10) dan lespedezaflavanon C (11), serta satu senyawa kelompok flavon yaitu siklokomunol (12). Duabelas senyawa fenol yang telah berhasil diisolasi dari daun Artocarpus tersebut memperlihatkan adanya perbedaan pola kimia dengan senyawa fenol yang berasal dari akar dan batangnya. Perbedaan tersebut terlihat pada kelompok senyawanya, pola oksigenasi di cincin B, dan gugus prenil yang terikat di cincin B. Penemuan tiga senyawa baru, serta adanya perbedaan pola kimia antara daun dengan akar atau batang, membuktikan kemampuan tumbuhan Artocapus untuk menghasilkan senyawa-senyawa fenol dengan kelompok dan struktur yang bervariasi. Pembentukan senyawa flavonoid pada daun Artocarpus yang diteliti secara umum mengikuti jalur biosintesis yang lazim seperti flavonoid tumbuhan lainnya. Dengan ditemukannya senyawa flavanon yang memiliki gugus prenil pada posisi C-8, dapat disarankan bahwa secara biogenesis terikatnya gugus prenil di kerangka flavon terjadi setelah siklisasi pembentukan flavanon, dan bukan pembentukan calkonnya. Studi fitokimia yang dilakukan juga memberikan konstribusi pada bidang kemotaksonomi yang dapat memperkuat hipotesis sebelumnya tentang tingkat evolusi serta hubungan kekerabatan di antara spesies Artocarpus. Kajian tentang sitotoksisitas terhadap sel murin P-388 memperlihatkan bahwa satu senyawa fenol dikategorikan sangat aktif yaitu siklokomunol (12) dengan IC50 1,9 ?g/mL, tiga senyawa dikategorikan aktif sitotoksik yaitu 3’-geranilnaringenin (9), lespedezaflavanon C (11) dan AC 5-1 (4) dengan IC50 masing-masing 3,2; 3,4; dan 3,6 ?g/mL. Berdasarkan kajian hubungan struktur dan aktivitas sitotoksik pada penelitian ini ternyata memperlihatkan adanya kecenderungan peningkatan sitotosik karena adanya gugus samping prenil atau geranil yang terikat di kerangka flavonoidnya, dan aktivitas akan lebih meningkat apabila gugus prenil atau geranil terikat di cincin B. Akan tetapi, apabila terjadi modifikasi pada gugus geranil maka cenderung akan menurunkan sifat sitotoksik. Sebagai kesimpulan, pada penelitian ini telah berhasil diisolasi tiga senyawa baru dari daun Artocarpus yaitu artoindonesianin C1 (1), artoindonesianin C2 (2) dan artoindonesianin C3 (3). Berhasil diisolasinya dua belas senyawa fenol pada bagian daun Artocarpus, mempertegas adanya perbedaan pola kimia senyawa fenol pada bagian daun dengan bagian akar atau batangnya serta memperlihatkan kemampuan Artocarpus untuk menghasilkan senyawa fenol dengan kelompok dan struktur yang bervariasi. Selain itu, hasil evaluasi sitotoksik senyawa hasil isolasi terhadap sel murin leukemia P-388 memperlihatkan adanya hubungan keberadaan gugus isoprenil atau geranil pada kerangka fenolnya dengan sifat sitotoksik.