Pembangunan sistem transportasi kereta api perkotaan dan Transit-Oriented
Development (TOD) memiliki potensi penciptaan nilai akibat adanya peningkatan
aksesibilitas perkotaan dan aglomerasi berbagai jenis kegiatan sehingga dapat
mempengaruhi perubahan harga lahan dan properti di sekitar area simpul
transportasi. Kenaikan nilai lahan dan properti dapat bermanfaat bagi masyarakat
dan pemerintah, khususnya dalam mengembangkan skema LVC (Land Value
Capture) yang pada saat ini mulai banyak dikembangkan di Indonesia sebagai salah
satu skema alternatif dalam pendanaan infrastruktur transportasi. Kota Bandung
pada saat ini memiliki rencana pembangunan LRT (Light Rail Transit) Bandung,
namun belum dapat terealisasikan akibat kendala finansial. Penelitian terhadap
dampak pembangunan sistem transportasi kereta api perkotaan dan TOD telah
banyak dilakukan, namun belum banyak penelitian terkait estimasi perubahan harga
lahan dan properti yang dapat terjadi di masa mendatang, khsususnya dalam proyek
pembangunan LRT Bandung. Identifikasi estimasi perubahan harga lahan dan
properti dilakukan dengan menggunakan studi kasus percontohan, yaitu MRT
(Mass Rapid Transit) Jakarta dan LRT Jabodebek yang merupakan sistem
transportasi kereta api perkotaan serupa yang telah ada di Indonesia. Penelitian ini
dilakukan dengan mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat mempengaruhi harga
lahan dan properti menggunakan analisis konten terhadap penelitian-penelitian
terdahulu terkait model harga hedonis pada studi kasus serupa yang selanjutnya
digunakan dalam mengidentifikasi model perbedaan harga lahan dan properti
menggunakan analisis Propensity Score Matching (PSM), serta mengidentifikasi
model harga dan estimasi perubahan harga lahan dan properti menggunakan
analisis regresi linear berganda. Berdasarkan hasil analisis PSM, wilayah di Kota
Jakarta yang telah memiliki sistem transportasi kereta api perkotaan memiliki ratarata harga lahan per m2 dan harga properti per m2 yang secara signifikan lebih tinggi
dibandingkan wilayah di Kota Bandung yang memiliki karakteristik serupa.
Berdasarkan hasil analisis regresi linear berganda dengan menggunakan model
robust, terdapat total 11 (sebelas) variabel yang dapat mempengaruhi harga lahan
per m2 dan harga properti keseluruhan pada lahan terbangun dan tidak terbangun,
yaitu jarak ke stasiun atau TOD terdekat, peruntukan lahan, luas lahan, luas
bangunan, jarak ke gerbang tol terdekat, jarak ke CBD, jarak ke RS terdekat, jarak
ke SD terdekat, jarak ke SMA terdekat, jarak ke pusat hiburan atau komersialii
terdekat, dan jarak ke area rekreasi/wisata/pusat olahraga terdekat. Keberadaan
sistem transportasi kereta api perkotaan dan TOD sendiri secara signifikan memiliki
pengaruh positif terhadap peningkatan harga lahan per m2 dan harga properti
keseluruhan baik pada lahan terbangun dan tidak terbangun. Berdasarkan
perhitungan prediksi regresi dari model harga hedonis yang telah didapatkan,
terdapat peningkatan rata-rata harga lahan per m2 sebesar 94% dan peningkatan
rata-rata harga properti sebesar 65% pada lahan terbangun, serta terdapat
peningkatan rata-rata harga lahan per m2 sebesar 169% dan peningkatan rata-rata
harga properti sebesar 51% pada lahan tidak terbangun pada area TOD di sekitar
rencana pembangunan Stasiun LRT Bandung yang dapat terjadi hingga rentang
hingga 4 (empat) tahun setelah LRT Bandung resmi beroperasi dan dapat menjadi
pertimbangan dalam penetapan skema LVC kedepannya.