Indonesia adalah produsen minyak sawit terbesar dan berkontribusi terhadap 59%
pasokan minyak sawit dunia dengan produksi Minyak Sawit Mentah (CPO) sebesar
sekitar 46,9 juta ton pada tahun 2021. Namun, produksi yang besar ini
menimbulkan tantangan lingkungan yang signifikan berupa Limbah Pabrik Kelapa
Sawit (POME) yang diperkirakan mencapai 156 juta m3 setiap tahunnya. Instalasi
pengolahan POME menghasilkan Biogas, yang sebagian besar terdiri dari Metana
(CH4) yang berkisar antara 50% hingga 75%. Gas ini merupakan Gas Rumah Kaca
(GRK) yang berpotensi menimbulkan pemanasan global 28 kali lebih besar
daripada CO2 jika dilepaskan ke atmosfer. Sebaliknya, Metana merupakan
komponen utama Gas Bumi yang banyak dimanfaatkan di berbagai sektor, antara
lain rumah tangga, komersial, industri, dan pembangkit listrik. Melalui pengolahan
yang tepat, biogas yang berasal dari POME dapat ditingkatkan kualitasnya dan
mengubahnya menjadi Biometana, sebuah energi alternatif terbarukan yang dapat
diintegrasikan ke dalam Jaringan Gas Bumi sebagai pengganti bahan bakar fosil
konvensional. Potensi konversi POME menjadi Biometana diperkirakan mencapai
1.280 MWe atau setara dengan 288 MMSCFD CH4.
Meskipun potensi Biometana dari POME sangat besar, pemanfaatannya saat ini
hanya terbatas pada penggunaan sendiri di Pabrik Kelapa Sawit atau pembangkit
listrik, termasuk di Provinsi Riau, yang memiliki wilayah perkebunan kelapa sawit
terbesar di Indonesia. Selain itu, survei yang dilakukan PGN mengungkapkan
terdapat calon pelanggan gas bumi di Provinsi Riau yang masih belum terlayani
karena keterbatasan infrastruktur dan tantangan skala ekonomi. Oleh karena itu,
penelitian ini bertujuan untuk merumuskan skema distribusi optimal yang
memaksimalkan nilai ekonomi untuk melayani pasar potensial di Provinsi Riau,
serta strategi berkelanjutan untuk bisnis biometana di wilayah tersebut.
Metodologi penelitian yang dilakukan adalah kombinasi teknik pengumpulan data
kuantitatif dan kualitatif yang meliputi studi literatur, wawancara dengan Badan
Usaha Pipa dan CNG, serta penyebaran kuesioner kepada lima calon pelanggan
biometana di Provinsi Riau. Selanjutnya, data yang terkumpul dianalisis secara
menyeluruh dengan menggunakan analisis geografis, pemodelan biaya transportasi,
pemodelan keuangan, analisis SWOT, dan analisis risiko. Hasilnya memberikan
iv
tentang lokasi pabrik kelapa sawit yang optimal untuk pabrik biometana, moda
transportasi pilihan, model sistem aktivitas, dan pemodelan kanvas bisnis.
Dengan metoda tersebut, penelitian ini menyimpulkan bahwa angkutan truk
merupakan moda distribusi biometana yang optimal, dari pabrik kelapa sawit
menuju pelanggan komersial dan industri yang tersebar. Kelayakan ekonomi
pemanfaatan biometana sangat sensitif terhadap volume biometana. Oleh karena
itu, strategi untuk menjaga stabilitas atau meningkatkan volume penjualan sangat
penting untuk pembangunan berkelanjutan industri biometana. Dalam kasus
Provinsi Riau, empat calon pelanggan gas dengan kebutuhan harian sebesar
11.248,93 m3 berpotensi untuk dapat dilayani biometana dengan harga yang lebih
terjangkau dibandingkan LPG atau Solar. Hal ini dapat dicapai dengan memilih
pabrik kelapa sawit dalam radius maksimal 76 km dan mentargetkan pelanggan
dengan kebutuhan gas melebihi 1000 m3
/bulan. Pertimbangan seperti harga,
jaminan pasokan, dan kelangsungan operasional memainkan peran penting dalam
melayani kebutuhan pelanggan secara efektif. Temuan dari penelitian ini
memberikan wawasan berharga dalam mengatasi tantangan dan mengoptimalkan
bisnis biometana di Provinsi Riau, Indonesia. Model yang diusulkan ini dapat
digunakan untuk menyajikan pendekatan bisnis berkelanjutan dalam penerapan
biometana secara lebih luas di Indonesia.