digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

ABSTRAK Ginta Rizki Ananda
PUBLIC Irwan Sofiyan

Pulau Ambon merupakan suatu daerah di Provinsi Maluku yang berada di bawah kontrol tektonik Laut Banda. Aktivitas tektonik Laut Banda dikarakterisasi oleh aktivitas sesar dan gunung api. Aktivitas tektonik tersebut ditandai oleh adanya frekuensi bencana alam yang melanda Pulau Ambon. Ambon tercatat pernah mengalami tsunami setidaknya delapan kali dengan tsunami terakhir terjadi pada tahun 1950. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi karakteristik fisik, kimia dan biologi endapan tsunami yang terendapkan di Pantai Galala, selain itu rekonstruksi mekanisme sumber tsunami Ambon 1950 menggunakan studi fosil foraminifera yang belum pernah dikaji sebelumnya. Metodologi yang digunakan untuk menjelaskan karakteristik adalah metode granulometri butir sedimen, metode XRF dan LOI untuk menjelaskan karakteristik kimia dari endapan tsunami, idenfikasi mikrofauna; foraminifera; bentonik; dan planktonik. Berdasarkan data yang diperoleh, karakterisitk ukuran butir dicirikan oleh struktur kasar-halus (menghalus ke atas) dengan sortasi buruk hingga sangat buruk yang dicerminkan nilai mean (1.57 phi-3.39 phi), sortasi (1.88 phi-2.917 phi), skewness (0.434phi-0.680phi), dan kurtosis (0.704 phi-1.908 phi). Sedangkan karakteristik kimia endapan tsunami Ambon 1950 dicirikan oleh peningkatan Ti, Ca, Sr dan kontaminasi Pb dan Cr yang signifikan. Karakteristik mikrofauna endapan tsunami dicirikan oleh kelimpahan genus foraminifera bentonik Ammonia, Amphistegina, dan Elphidium. Kehadiran Globigerina venezuelana sebagai fosil rombakan menjadi kunci rekonstruksi tsunami Ambon 1950. Rekonstruksi tsunami Ambon 1950 menunjukan bahwa tsunami terjadi akibat adanya gempa yang berasal dari selatan Pulau Ambon yang memicu longsoran endapan laut Teluk Ambon yang berumur Kuarter-Pliosen. Clustering foraminifera pada endapan tsunami menunjukan bahwa terdapat 3 cluster penciri utama tsunami Ambon 1950, yaitu cluster 1, cluster 2, dan cluster 3. Cluster 1 dicirikan oleh kehadiran foraminifera bentonik (umumnya Amphistegina sp.) dan planktonik (Neogloboquadrina dutertrei) yang dikorelasikan sebagai tsunami respon gempa bumi, cluster 2 dicirikan oleh kehadiran foraminifera (umumnya fosil rombakan) dan kelimpahannya yang dikaitkan dengan kekuatan gelombang paling besar akibat respon longsoran bawah laut, dan cluster 3 yang dicirikan oleh kehadiran foraminifera planktonik (umumnya fosil rombakan) yang dikaitkan dengan tsunami berskala kecil akibat longsoran bawah laut. Dari ketiga cluster tersebut menunjukkan bahwa longsor tidak langsung terjadi dikarenakan adanya jeda waktu setelah gempa bumi menimpa. Pada saat gempa bumi terjadi kemungkinan kondisi lereng sudah tidak stabil namun belum mengalami longsoran, ketika tsunami gelombang pertama akibat respon gempa bumi berlangsung, longsor kemudian terjadi dan mengakibatkan tsunami lokal yang cukup besar yang ditandai dengan gelombang kedua dan ketiga.