digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Bangunan Gereja Katolik di nusantara merupakan artefak budaya yang tumbuh, berkembang serta beradaptasi melalui proses inkulturasi dengan budaya lokal yang berdampak pada perubahan wujud bangunan Gereja Katolik. Bali memiliki patron budaya lokal yang mengandung nilai filosofis yang mengacu pada Arsitektur Tradisional Bali. Gereja Katolik memiliki ketentuan dasar pembangunan yang mengacu pada liturginya dengan tujuan sakralitas ruang peribadatan tercapai. Keduanya memiliki aturan mengenai tata ruang sakral yang mengikat. Menurunnya sakralitas ruang pada bangunan Gereja Katolik Pasca Konsili Vatikan II menurut Paus Benedictus XVI disebabkan oleh banyaknya Gereja Katolik yang tidak lagi sesuai dengan liturginya. Pernyataan tersebut memperlihatkan bahwa terdapat perbedaan antara konsep gereja yang baku dengan perkembangan pendirian gereja lokal. Berdasarkan hal tersebut perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui sejauhmana gereja yang dibangun inkulturasi masih memungkinkan para umat untuk mencapai pengalaman sakralitas. Gereja Santo Yoseph Denpasar merupakan bagian dari Paroki Santo Yoseph Denpasar yang menjadi cikal bakal dari penginjilan Katolik di Denpasar serta pusat pengembangan berbagai aktivitas dari keuskupan Denpasar. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap konsep estetika ruang yang terbentuk dari proses inkulturasi aturan agama Katolik dengan Budaya Bali pada wujud interior bangunan Gereja Santo Yoseph Denpasar serta pengaruhnya pada estetika interior ruang ibadah dalam meningkatkan pengalaman sakralitas umat. Penelitian kualitatif ini bersifat induktif dengan menggunakan metode analisis konten serta Hermeneutik. Metode pengumpulan data yang digunakan berupa dokumentasi, observasi, dan wawancara. Penelitian ini memberikan kebaruan perspektif pada bidang kajian ilmu desain dengan pendekatan interdisipliner (interdisciplinary approach) yang mengintegrasikan beberapa disiplin ilmu yang relevan di bawah sebuah disiplin ilmu desain dalam memecahkan suatu permasalahan tertentu secara bersama-sama untuk mengetahui bagaimana makna sakralitas yang dibentuk dari aturan liturgi berdasarkan Dokumen Konsili Vatikan II terkait dengan tata ruang ibadah diimplementasikan di suatu wilayah yg kaya akan budaya (Bali). Hasil temuan penelitian ini merupakan interpretasi terhadap bangunan Gereja Santo Yoseph Denpasar yang ditinjau berdasarkan atribut fisik, aktivitas dan makna sakralitas pada estetika interior ruang ibadah sebagai berikut: 1). estetika ruang yang terbentuk dari proses inkulturasi pada Bangunan Gereja Santo Yoseph Denpasar, secara bentuk diambil dari khazanah Budaya Bali yang mengacu pada Arsitektur Tradisional Bali, namun dari sisi makna ternyata banyak memiliki kesesuaian dengan aspek-aspek yang menjadi ketentuan-ketentuan dasar dalam Pembangunan Gereja Katolik. Dengan demikian, penerapan aturan Gereja Katolik dan Arsitektur Tradisional Bali dalam Bangunan Gereja Santo Yoseph Denpasar saling terintegrasi dan bersinergi dalam batasan-batasan tertentu. 2). Estetika interior ruang ibadah pada Bangunan Gereja Santo Yoseph Denpasar memiliki hubungan yang berpengaruh terhadap pengalaman sakralitasnya. Pengalaman sakralitas tidak hanya ditentukan oleh atribut fisik melainkan oleh intensitas, motivasi dan pemahaman umat atas teologi Katolik. Atribut fisik bagaimanapun hanya berperan sebagai pengkondisian awal menuju pengalaman sakralitas umat. Berdasarkan hasil analisis dan interpretasi sebagai tahapan pemahaman tentang makna pada penelitian ini maka diperoleh beberapa parameter atau kriteria yang harus dimiliki untuk mengungkapkan sejauhmana pengaruh estetika interior ruang ibadah pada bangunan Gereja Santo Yoseph Denpasar dalam meningkatkan pengalaman sakralitas umat yaitu defamiliarisasi, familiarisasi dan komunikasi aura (vibrasi).i