PT Kereta Api Indonesia (Persero) menghadapi kerugian finansial akibat menurunnya pendapatan penumpang dan angkutan barang selama pandemi. Namun, angkutan kereta barang telah berkembang, sehingga membutuhkan tambahan masinis untuk mendukung operasi yang efisien. Tantangan dalam pelatihan masinis, sertifikasi, dan ketidakpastian jadwal kereta barang menyebabkan masinis harus bekerja lembur. Lembur dapat meningkatkan kelelahan, stres, dan risiko kecelakaan, yang dapat mempengaruhi kinerja dan mengakibatkan kerugian bagi perusahaan. Untuk mengatasi masalah tersebut, penelitian ini menggunakan teknik RNASA-TLX untuk mengukur beban kerja mental dan menentukan jumlah masinis yang dibutuhkan, menyesuaikan berdasarkan penilaian beban kerja.
Penelitian ini menganalisis beban kerja mental 181 masinis di Unit Kru Kereta Api Tanjungenim Baru. Rata-rata skor RNASA-TLX sebesar 61,03 menunjukkan beban kerja mental yang moderat untuk masinis, yang menunjukkan bahwa kondisi kerja dan tuntutan lembur mereka dapat dikelola. Di antara para responden, 52 orang melaporkan beban kerja mental yang rendah, 87 orang melaporkan beban kerja mental yang sedang, dan 42 orang melaporkan beban kerja mental yang tinggi. Beban kerja mental yang rendah dapat menyebabkan penurunan produktivitas dan performa kerja, sehingga meningkatkan human error. Perusahaan harus meningkatkan kompetensi, menerapkan strategi rotasi tempat kerja, dan memberikan umpan balik yang konstruktif untuk mengoptimalkan beban kerja mental. Beban kerja mental yang tinggi dapat berdampak negatif pada kinerja, kesalahan dan stres, sehingga perlu dilakukan pemantauan, pembinaan dan pendampingan untuk membantu masinis dalam mengelola beban kerjanya. Berdasarkan metode PT KAI, jumlah masinis yang dibutuhkan pada saat penelitian adalah 196 orang, sehingga menghasilkan beban kerja mental sedang sebesar 56,36. Berdasarkan temuan ini, PT KAI dapat menggunakan metodenya untuk merencanakan jumlah masinis untuk memaksimalkan peluang saat ini dan di masa depan.