Implementasi Last Planner System (LPS) khususnya production planning masih
belum dilakukan secara optimal oleh beberapa negara, termasuk Indonesia. Hal ini
terindikasi dari beberapa penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa
penerapan Looahead Planning (LAP), Weekly Work Planning (WWP) dan
Learning yang masih dilakukan sebagian, dimana terdapat beberapa aspek dari
tahapan tersebut yang tidak dilakukan karena tim proyek mengalami beberapa
tantangan. Padahal, LAP dan WWP sebagai bagian dari production planning
merupakan aspek paling penting dalam LPS. Maka dari itu, penelitian ini dilakukan
untuk mengisi celah/gap yang ada, dengan melakukan kajian pada proyek
konstruksi di Indonesia yang sedang menerapkan LPS, khususnya production
planning. Kajian tersebut terdiri atas mengidentifikasi sejauh mana adopsi
production planning yang dilakukan oleh PT. A, mengidentifikasi sejauh mana
implementasinya di suatu proyek, dan mengidentifikasi hambatan yang dihadapi
oleh tim proyek selama production planning. Data yang digunakan dalam penelitian
ini dikumpulkan melalui observasi dan wawancara kepada pihak yang terlibat
langsung dalam production planning baik pada level perusahaan (PT. A) maupun
tim proyek di lapangan (Proyek X), sehingga akan didapatkan perbandingan
production planning antara teori LPS, adopsi perusahaan, dan implementasi di
lapangan. Berdasarkan hasil analisis secara deskriptif, didapatkan hasil bahwa
pengadopsian PT. A belum dilakukan sepenuhnya sesuai dengan teori LPS yang
ada dengan hanya memenuhi 4 dari 6 aspek yang ada. Sedangkan tahapan WWP
dan Learning telah memenuhi seluruh aspek yang ada pada teori. Implementasi di
proyek X sebagai benchmark project di PT. A masih dilakukan sebagian dimana
beberapa aspek dihilangkan atau bahkan tidak dilakukan. Hal tersebut terindikasi
dari tahapan LAP yang sudah tidak digunakan sehingga proses explosion,
constraint analysis dan make ready tidak dilakukan. Kemudian pada tahapan WWP
hanya 1 dari 4 aspek yang diimplementasikan dan pada tahapan Learning hanya 1
dari 3 aspek yang diimplementasikan. Implementasi yang masih dilakukan sebagian
ditemukan pada beberapa proyek baik di Indonesia maupun di luar negeri yang
sudah lebih lama mengimplementasikan, dimana analisis kendala dan make-ready
merupakan proses yang sukar diterapkan secara konsisten. Maka dari itu, dapat dikatakan bahwa implementasi production planning, khusunya tahapan LAP masih
mengalami banyak hambatan. Hambatan yang teridentifikasi paling banyak ialah
hambatan yang bersumber dari penggunanya (user) dimana salah satu hambatan
tersebut terkait dengan pemahamam tim proyek mengenai konsep production
planning, sehingga berpengaruh terhadap implementasi di lapangan. Pendekatan
yang dilakukan dalam implementasi LPS bukan hanya sekedar berfokus pada
penerapan tools-nya saja, melainkan harus melakukan change management secara
keseluruhan yaitu perubahan baik dari cara bekerja, pemikiran (mindset), perilaku
serta budaya orang - orang di dalamnya.