digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

ABSTRAK Alfarel Ridwan Syaifullah
Terbatas Yoninur Almira
» Gedung UPT Perpustakaan
» ITB

BAB 1 Alfarel Ridwan Syaifullah
Terbatas Yoninur Almira
» Gedung UPT Perpustakaan
» ITB

BAB 2 Alfarel Ridwan Syaifullah
Terbatas Yoninur Almira
» Gedung UPT Perpustakaan
» ITB

BAB 3 Alfarel Ridwan Syaifullah
Terbatas Yoninur Almira
» Gedung UPT Perpustakaan
» ITB

BAB 4 Alfarel Ridwan Syaifullah
Terbatas Yoninur Almira
» Gedung UPT Perpustakaan
» ITB

BAB 5 Alfarel Ridwan Syaifullah
Terbatas Yoninur Almira
» Gedung UPT Perpustakaan
» ITB

BAB 6 Alfarel Ridwan Syaifullah
Terbatas Yoninur Almira
» Gedung UPT Perpustakaan
» ITB

PUSTAKA Alfarel Ridwan Syaifullah
Terbatas Yoninur Almira
» Gedung UPT Perpustakaan
» ITB

LAMPIRAN Alfarel Ridwan Syaifullah
Terbatas Yoninur Almira
» Gedung UPT Perpustakaan
» ITB

Transportasi publik sebagai tulang punggung kegiatan mobilisasi masyarakat perkotaan seharusnya dapat menjadi ruang yang aman dari pelecehan seksual. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah dan pengelola layanan transportasi publik untuk dapat mencegah pelecehan terjadi, salah satunya dengan menerapkan kebijakan segregasi ruang berbasis gender berupa “Ruang Khusus Perempuan”. Sayangnya, masalah tersebut masih menghantui penggunanya hingga saat ini, menunjukkan bahwa penerapan inisiasi penanggulangan yang ada belum maksimal. Mengingat semakin berkembangnya ilmu gender serta wujud pelecehan seksual yang sangat beragam, pengkajian terhadap kejadian pelecehan seksual di dalam transportasi publik menjadi krusial untuk dilaksanakan. Dengan Transjakarta sebagai studi kasus, penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi persepsi masyarakat terhadap adanya “Ruang Khusus Perempuan” sebagai upaya penanggulangan pelecehan seksual di dalam transportasi publik. Penelitian ini menggunakan analisis Q-Methodology dan analisis konten media sosial untuk menangkap sekaligus menginterpretasikan ragam persepsi masyarakat terhadap isu ini. Hasil analisis persepsi masyarakat tersebut kemudian disusun menjadi pohon masalah untuk dapat melihat persoalan secara lebih terstruktur, lalu disejajarkan menjadi pohon tujuan untuk merespons cabang-cabang permasalahan yang telah teridentifikasi. Selanjutnya, dilakukan validasi terhadap hasil temuan melalui wawancara dengan ahli-ahli pelecehan seksual dan transportasi publik. Penelitian menunjukkan ketidakoptimalan penerapan “Ruang Khusus Perempuan” terjadi karena 3 faktor: banyaknya ambiguitas dalam mendefinisikan perilaku pelecehan seksual, kegagalan lembaga mewujudkan wawasan bersama terkait pelecehan seksual, serta terbatasnya jangkauan “Ruang Khusus Perempuan” dalam melindungi penumpang. Pada bagian akhir, disusun langkah-langkah strategis untuk mengisi celah-celah dari kebijakan “Ruang Khusus Perempuan” sebagai upaya penanganan pelecehan seksual di dalam transportasi publik