digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800


BAB_1 Jaka Ramdani
EMBARGO  2027-01-23 

BAB_2 Jaka Ramdani
EMBARGO  2027-01-23 

BAB_3 Jaka Ramdani
EMBARGO  2027-01-23 

BAB_4 Jaka Ramdani
EMBARGO  2027-01-23 

BAB_5 Jaka Ramdani
EMBARGO  2027-01-23 

2023_TS_PP_JAKA_RAMDANI_DAFUS.pdf
EMBARGO  2027-01-18 

2023_TS_PP_JAKA_RAMDANI_LAMPIRAN.pdf
EMBARGO  2027-01-18 

Pergeseran agenda militer menjadi titik awal perubahan yang menyerluruh pada peranan militer. Militer secara umum menjalankan peran sebagai aktor penting dalam mewujudkan perdamaian dan keamanan negara. Dalam perkembangannya militer masuk kedalam perlindungan sumber daya alam disuatu wilayah, salah satunya adalah hadirnya peran TNI kedalam tata kelola daerah aliran sungai Citarum. Perubahan tata kelola DAS ditandai dengan terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 15 Tahun 2018 tentang Percepatan Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Daerah Aliran Sungai Citarum. Batas perubahan terlihat dari masa Citarum Bestari ke Citarum Harum yang dimana pengelolaan sungai Citarum secara langsung bergeser dari desentralisasi menjadi sentralistik sehingga menimbulkan polemik laten pada masyarakat lokal. Untuk melihat bentuk respon masyarakat lokal atas perubahan tata kelola DAS Citarum dieksplorasi menggunakan desain penelitian Mix Methods Sequential Explanatory Design. Pendekatan ini dipilih untuk mengeksplorasi fenomena kompleks dengan mengintegrasikan data kualitatif dan kuantitatif, bertujuan memberikan pemahaman yang lebih mendalam dan holistik dengan didukung kerangka Social Network Analysis (SNA). Hasil temuan penelitian menunjukkan adanya perbedaan pendekatan antara dua periode tata kelola, ketidakpuasan dan resistensi masyarakat lokal yang menghasilkan inisiatif pemberdayaan swadaya, peleburan peran tokoh lokal dalam sistem formal desa untuk mempertahankan masyarakat yang berdaya, terbentuknya Micro Governance yang menggerakkan masyarakat lokal, dan adaptasi masyarakat lokal di bawah kepemimpinan militer dalam dinamika perubahan tata kelola. Social Network Analysis (SNA) juga mengungkap bentuk hubungan dan interaksi antar aktor terhadap kehadiran militer. Yang terlihat didominasi dengan peran pemimpin lokal seperti Kepala Desa Tarumajaya yang mampu menggerakan masyarakat lokal walaupun adanya keterbatasan fasilitas yang tersedia. Upaya swadaya dilakukan secara inisiatif oleh masyarakat lokal didukung hadirnya informalitas seperti komunitas lokal (Institut Gunung Wayang, MPSA, KIM Cerdas, MUI Desa Tarumajaya, Karang Taruna, Baraya Tani, LMDH, Kadus, Kuncen Situ Cisanti, Koperasi Peternak Sapi, Perkumpulan Peternak Sapi) dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) dari luar desa seperti PSDK, Perkumpulan Inisiatif, Jejaring Ecovilage, dan Wanapasa. Bentuk variatif yang terlihat pada respon masyarakat lokal menjadi proteksi potensi desa untuk menjaga sumber daya alam yang tersedia di Sungai Citarum. Walaupun ada sensitivitas yang muncul, masyarakat lokal tetap mampu menahan konflik yang ada sehingga tidak terjadi gejolak di Desa Tarumajaya. Hal ini disebabkan karena masyarakat lokal yang merasa terpinggirkan dan masyarakat merasa tunduk terhadap otoritas peran militer. Respon kritis muncul dengan adanya gerakan sosial yang menuntut perubahan kebijakan yang lebih inklusif dan berkelanjutan dari berbagai aktor-aktor lokal. Munculnya pelemahan potensi lokal yang sudah tumbuh dari masyarakat lokal oleh hadirnya TNI (militer) menjadi sumber konflik sosial di tingkat lokal. Sementara itu, beberapa masyarakat lokal bermanifestasi melebur kedalam sistem formal di level desa. Respon masyarakat lokal disisi lain tunduk terhadap peraturan atas peran komando TNI (militer) dan masyarakat lokal terus bergerak aktif dalam sistem formal dan informal ditingkat desa sehingga mempengaruhi keberlanjutan desa yang bercorak berbeda dari desa-desa sekitarnya. Kontribusi penelitian ini dapat mendorong kebijakan yang lebih berpihak pada masyarakat lokal, mempertimbangkan keberagaman kebutuhan dan kepentingan untuk mengembangkan potensi lokal. Oleh karena itu, penelitian ini tidak hanya menyajikan pemahaman mendalam terhadap respon masyarakat lokal terhadap dinamika perubahan tata kelola DAS, tetapi juga memberikan dasar untuk perbaikan kebijakan yang lebih inklusif dan berkelanjutan di tingkat lokal.