Di berbagai negara, khususnya dunia ketiga dan selatan global, perencanaan desa
memainkan peran penting dalam mengimplementasikan strategi pengembangan
wilayah. Dalam perencanaan di tingkat desa, masyarakat menginisiasi
pembangunan desa melalui musyawarah atau forum komunikatif. Praktik ini
disebut perencanaan deliberatif. Masyarakat duduk bersama dan berdialog untuk
membuat kebijakan. Di Indonesia, deliberasi perencanaan desa diarahkan untuk
merumuskan proyek pembangunan yang akan direalisasikan berdasarkan usulan
masyarakat.
Sebagaimana perencanaan mensyaratkan adanya desain kelembagaan, maka para
ahli teori dan praktisi pendukung komunikatif yang terlibat dalam proses
perencanaan lebih fokus pada aspek-aspek formal dari arena pembuatan kebijakan.
Namun, dalam masyarakat, kekuasaan juga memainkan peran di tingkat informal.
Keberadaan kekuasaan dalam perencanaan deliberatif telah dibahas secara luas
dalam literatur. Pemahamannya saat ini lebih banyak diturunkan dari pengetahuan
barat dan pada konteks perencanaan kota yang cenderung mengupayakan deliberasi
formal. Hal ini tidak secara langsung dapat diterapkan di berbagai negara belahan
dunia lainnya, terutama negara berkembang, di mana perencanaan lebih bercirikan
informalitas.
Salah satu tinjauan deliberasi yang cukup komprehensif dalam konteks
perencanaan dijelaskan melalui gagasan network power in collaborative policy
making DIAD (Booher dan Innes, 2002). Mereka berargumen bahwa kekuasaan
terdistribusi secara merata pada semua peserta dalam bentuk sistem jaringan
kekuasaan dengan menerapkan prasyarat terjadinya dialog otentik seperti diversity,
interdependence dan authentic dialogue (DIAD). Gagasan DIAD digunakan dalam
penelitian ini sebagai perdebatan utama. Meskipun berhasil menguraikan
bagaimana kekuasaan bekerja dalam deliberasi, gagasannya belum cukup
menjelaskan konteks besar mekanisme kekuasaan yang bekerja di luar arena
pembuatan kebijakan. Oleh sebab itu, menjadikannya terbatas karena hanya
mempengaruhi yang terjadi di dalam deliberasi formal. Penelitian selama ini
menyinggungnya secara terpisah-pisah dengan mengindikasikan adanya pengaruhii
arena informal terhadap produk perencanaan. Namun, hal ini belum cukup
menjelaskan bagaimana kekuasaan di arena informal mempengaruhi deliberasi
yang menghasilkan output di arena formal.
Secara teoritis, penelitian ini berkontribusi pada debat perencanaan deliberatif di
atas dengan menyajikan bahasan yang lebih spesifik, yakni konteks perencanaan
desa di selatan global. Praktik musyawarah formal dan informal dianalisis untuk
menjelaskan eksistensi lapis-lapis kekuasaan yang mengelilingi deliberasi
perencanaan di tingkat desa. Untuk itu, kajian ini mengeksplorasi kemampuan
kekuasaan seperti apa yang dimiliki masing-masing aktor; apa saja lapisan
kekuasaan pada deliberasi pembuatan kebijakan dan bagaimana hal ini menjelaskan
kekuasaan yang bekerja di luar praktik deliberasi formal; serta mekanisme dialog
otentik (DIAD) apa saja yang terpengaruh akibat adanya relasi antar arena. Secara
praktis, penelitian ini bermanfaat bagi penentu kebijakan yang terlibat dalam
mengembangkan strategi perencanaan desa yang tepat di Indonesia, atau di negara
lain dengan karakteristik serupa, di mana informalitas dan kekuasaan yang bekerja
di dalamnya ditangani melalui proses perencanaan.
Musyawarah perencanaan pembangunan desa (musrenbangdes) Pematang Tengah,
Sumatera Utara - Indonesia menjadi studi kasus dalam disertasi ini guna
mengilustrasikan praktik perencanaan deliberatif. Penelitian lapangan dilakukan
selama 2018-2020 mengggunakan strategi etnografi dan autoetnografi.
Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam, pengutaraan sejarah
lisan, observasi, diskusi kelompok dan analisis dokumen. Wawancara dan
pengutaraan sejarah lisan dilakukan terhadap 29 orang informan yang terdiri dari
warga desa, aparatur pemerintah desa, pendamping desa, aparatur pemerintah
kecamatan dan aparatur dinas kabupaten terkait. Selain itu, penelitian ini juga
melibatkan informan dari kalangan akademisi untuk mengomentari hasil yang
diperoleh. Observasi dilakukan pada arena formal perencanaan desa seperti
pelaksanaan musrenbangdes tahunan di kantor desa, serta pada arena-arena
informal di mana kelompok-kelompok warga membahas proyek pembangunan
yang akan diusulkan di tingkat dusun seperti di sekitaran jalan desa, persawahan,
warung, rumah warga dan pos dusun. Diskusi kelompok dilakukan terhadap
beberapa kelompok seperti warga desa, aparatur pemerintah desa, aparatur
pemerintah kecamatan, dan kombinasi di antaranya. Analisis dokumen dilakukan
terhadap laporan pelaksanaan perencanaan desa, peraturan pemerintah, publikasi
jurnal terkait dan situs berita internet.
Hasil analisis menunjukkan bahwa secara normatif kemampuan kekuasaan masingmasing aktor dapat dibagi menjadi kelompok-kelompok yang memiliki kedudukan,
sumber kekuasaan dan kapabilitas tertentu dalam mempengaruhi pembuatan
kebijakan di jalur formal. Sementara itu, secara empiris penelitian menemukan
bahwa kelompok aktor yang memiliki kapabilitas sebagai pengusul kegiatan
berpotensi menjadi aktor pemegang kuasa di arena informal. Di sisi lain,
pendekatan kubus kekuasaan membantu dalam menjelaskan konfigurasi kekuasaan
yang terjadi pada deliberasi perencanaan desa.iii
Studi ini menemukan tiga lapis mekanisme kekuasaan yang bekerja di dalam, di
luar dan di sisi terluar perencanaan deliberatif, yakni: (1) ‘mencari tahu dalam
keterbukaan’ atau ‘figuring out in openness’ yang mengkonfirmasi terjadinya
dialog otentik (DIAD) pada deliberasi formal dengan kontribusi yang lebih
spesifik; (2) ‘menggiring keinginan publik’ atau ‘herding public desire’ yang
menjelaskan terjadinya ‘deliberasi terputus-putus’ atau ‘disjointed deliberation’ di
luar arena pembuatan kebijakan; dan (3) ‘memaksakan arah’ atau ‘forcing
direction’ yang menjelaskan andil invisible actor dalam mempengaruhi jalannya
deliberasi dan pembuatan kebijakan. Setiap lapisan kekuasaan memiliki relasi yang
mempengaruhi lapisan lainnya. Hal ini didasarkan pada unsur dialog otentik
(DIAD) yang melatar belakanginya.
Selanjutnya, penelitian ini mengemukakan bahwa dalam kasus Pematang Tengah,
jaringan kekuasaan dibentuk sebelum memasuki arena pembuatan kebijakan.
Dengan kata lain, kebijakan tidak dibuat di arena formal, tetapi telah dipersiapkan
di arena informal. Studi kasus menunjukkan bahwa arena pembuatan kebijakan
formal hanya menyajikan hasil musyawarah lapisan luarnya. Hal ini berbeda
dengan apa yang disampaikan oleh gagasan jaringan kekuasaan DIAD dan sebagian
besar literatur perencanaan barat, di mana musyawarah formal digunakan untuk
menghasilkan ide, pembelajaran, dan pembuatan kebijakan. Menariknya, studi ini
menunjukkan bahwa gagasan tersebut lebih sesuai dengan perencanaan desa
daripada tinjauan awalnya yang berdasarkan konteks perencanaan kota. Berbeda
dengan perencanaan kota yang sangat intens dengan negosiasi di arena formalnya
yang menyebabkan gagasan tersebut sulit diterapkan, pada perencanaan desa hal
ini menjadi aplikatif karena negosiasi lebih intens berlangsung di arena
informalnya. Dengan kata lain, arena-arena informal menjembatani terjadinya
dialog otentik (DIAD) di arena pembuatan kebijakan.