digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Stunting adalah manifestasi gangguan gizi kronis yang menjadi masalah kesehatan global dan nasional. Berbagai upaya penanggulangan stunting yang telah dilaksanakan berfokus pada pemberian makronutrien dan mikronutrien. Upaya ini tidak optimal karena dalam patogenesis stunting ditemukan adanya gangguan penyeparapan zat gizi yang dikenal dengan Environmental Enteric Dysfuction (EED). Kondisi EED bersifat reversibel sehingga perbaikan keseimbangan mikrobiota usus berpotensi memperbaiki pertumbuhan. Mikrobiota usus juga diketahui berperan dalam menginduksi sekresi sejumlah senyawa dan hormon, seperti Short Chain Fatty Acid (SCFA), Glucagon-like Peptide-1 (GLP-1) dan Insulin-like Growth Factor-1 (IGF-1), yang berperan dalam mendukung proses pertumbuhan dan metabolisme. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji korelasi antara profil mikrobiom usus archaea dan bakteri dengan pertumbuhan pada balita stunting di salah satu lokus stunting di Indonesia, yaitu Kabupaten Pidie, Provinsi Aceh. Penelitian ini adalah penelitian case-control dan melibatkan 42 balita sebagai subjek penelitian yang terdiri dari 21 balita stunting dan 21 balita normal. Rekrutmen subjek didasarkan pada kriteria inklusi dan eksklusi. Mikrobiota usus dipetakan dengan Next Generation Sequencing (NGS) berbasis gen 16S rDNA (16S rDNA amplicon sequencing). Pemetaan archaea usus dilakukan dengan primer yang mengenali wilayah V4-V5 gen 16S rDNA archaea, sedangkan pemetaan bakteri usus dilakukan dengan primer yang mengenai wilayah V3-V4 gen 16S rDNA bakteri. Ekstraksi DNA dari feses balita dilakukan oleh PT. Genetika Science Indonesia dan 16S rDNA amplicon sequencing dilakukan oleh Novogene sebagai penyedia jasa analisis metagenomik. Data mentah hasil NGS dianalisis lebih lanjut menggunakan pipeline QIIME2. Analisis bioinformatika dan statistik lainnya dilakukan untuk menentukan komposisi, diversitas dan prediksi fungsional metagenom. Studi ekspresi gen dilakukan dengan metode Quantitative Polymerase Chain Reaction (qPCR) dari mRNA yang diisolasi dari feses balita. Pada archaea usus, ekspresi gen yang diamati adalah ekspresi gen mcrA, yang mengkode enzim Methyl co-enzyme reductase A dan berperan dalam metanogenesis. Pada bakteri usus, ekspresi gen yang diamati adalah ekspresi berbagai gen virulensi dari patogen usus, ii yaitu aaiC (Enteroaggregative Escherichia coli/EAEC), eaeA (Enteropathogenic E. coli/EPEC), estA (Enterotoxigenic E. coli/ETEC), ipaH3 (Shigella/Enteroinvasive E. coli/EIEC) dan ompC (Salmonella enterica). Pada penelitian ini juga dilakukan pengukuran kadar SCFA, GLP-1 dan IGF-1. Penentuan kadar SCFA dari feses dilakukan dengan metode Gas Chromatography-Mass Spectrometry (GC-MS) oleh Laboratorium Pusat Rujukan Nasional Prodia, Jakarta. Penentuan kadar GLP-1 dan IGF-1 dari serum dilakukan dengan metode Enzyme-linked Immunosorbent Assay (ELISA). Abnormalitas konsistensi feses, adanya riwayat diare, status imunisasi dasar tidak lengkap, konsumsi susu formula di usia kurang dari 6 bulan serta rendahnya konsumsi sayur dan protein hewani adalah sejumlah variabel yang berkaitan dengan kejadian stunting (p?0,05). Kadar SCFA dan GLP-1 balita stunting tidak berbeda dengan balita normal. Namun, kadar IGF-1 balita stunting lebih rendah dibandingkan balita normal. Hasil 16S rDNA amplicon sequencing menunjukkan kelimpahan relatif archaea dari famili Methanobacteriaceae yang lebih rendah pada balita stunting dibandingkan balita normal. Methanobrevibacter smithii dan Methanosphaera stadmanae adalah metanogen yang diidentifikasi. Analisis alpha diversity menunjukkan bahwa keberadaan metanogen meningkatkan diversitas mikrobiota usus pada balita stunting. Prediksi fungsional metagenomik juga menunjukkan jalur metabolisme archaea adalah jalur metabolisme yang aktif pada balita normal. Level ekpresi gen mcrA ditemukan lebih rendah pada balita stunting dibandingkan balita normal. Metanogenesis juga diketahui berkorelasi positif dengan kadar SCFA, GLP-1 dan IGF-1 serta parameter antropometri seperti tinggi badan dan Body Mass Index (BMI), meskipun tidak signifikan secara statistik. Komposisi bakteri usus balita stunting menunjukkan adanya kondisi dysbiosis, yaitu dengan peningkatan rasio Firmicutes terhadap Bacteroides. Selain itu, pada balita stunting ditemukan kelimpahan relatif yang tinggi dari sejumlah genus yang berkaitan dengan inflamasi, abnormalitas metabolisme, diet tinggi lemak-rendah serat seperti Blautia, Dorea, Collinesella, Clostridium sensu stricto dan Streptococcus. Pada balita stunting juga ditemukan adanya sejumlah kontaminan biologis seperti Aeromonas, Stappiaceae dan Synechococcus CC9902. Analisis beta diversity menunjukkan perbedaan yang signifikan antara komposisi mikrobiota usus balita stunting dengan balita normal. Alpha diversity bakteri usus pada balita stunting ditemukan lebih rendah dibandingkan balita normal sehingga dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi patogen. Kerentanan ini dikonfirmasi dengan peningkatan tingkat ekspresi berbagai gen virulensi yang menunjukkan tingginya infeksi bakteri patogen pada balita stunting dibandingkan balita normal. Tingkat ekspresi berbagai gen virulensi bakteri, terutama gen estA ETEC, berkorelasi negatif dengan kadar IGF-1, tinggi badan, berat badan dan BMI. Analisis korelasi juga menunjukkan adanya ko-infeksi antar berbagai patogen usus. Penelitian ini mengkonfirmasi peran penting mikrobiota usus dengan pertumbuhan pada kasus stunting di Kabupaten Pidie, Provinsi Aceh. Penelitian ini mengeksplorasi peran archaea metanogen usus dan proses metanogenesis pada balita stunting yang belum pernah dilaporkan sebelumnya. Studi ekspresi berbagai gen virulensi bakteri patogen pada balita stunting dan kaitannya dengan metabolit iii bakteri (SCFA), protein inang (GLP-1 dan IGF-1) serta parameter antropometri juga menjadi kebaruan pada penelitian ini. Berbagai hasil penelitian ini menggarisbawahi sejumlah titik kritis yang harus ditingkatkan dari upaya penanganan stunting serta merekomendasikan penggunaan prebiotik dan probiotik untuk memperbaiki keseimbangan mikrobiota usus pada balita stunting dan mengoptimalkan penyerapan zat gizi serta pertumbuhan. Penelitian lanjutan berupa eksplorasi bahan pangan lokal sebagai kandidat prebiotik, probiotik dan sinbiotik untuk stunting serta studi korelasi dengan melibatkan banyak subjek dan desain kohort diharapkan dapat memberikan hasil yang lebih konklusif dan berkontribusi signifikan pada upaya penanganan stunting di Aceh dan Indonesia.