Stunting adalah manifestasi gangguan gizi kronis yang menjadi masalah kesehatan
global dan nasional. Berbagai upaya penanggulangan stunting yang telah
dilaksanakan berfokus pada pemberian makronutrien dan mikronutrien. Upaya ini
tidak optimal karena dalam patogenesis stunting ditemukan adanya gangguan
penyeparapan zat gizi yang dikenal dengan Environmental Enteric Dysfuction
(EED). Kondisi EED bersifat reversibel sehingga perbaikan keseimbangan
mikrobiota usus berpotensi memperbaiki pertumbuhan. Mikrobiota usus juga
diketahui berperan dalam menginduksi sekresi sejumlah senyawa dan hormon,
seperti Short Chain Fatty Acid (SCFA), Glucagon-like Peptide-1 (GLP-1) dan
Insulin-like Growth Factor-1 (IGF-1), yang berperan dalam mendukung proses
pertumbuhan dan metabolisme. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji korelasi
antara profil mikrobiom usus archaea dan bakteri dengan pertumbuhan pada balita
stunting di salah satu lokus stunting di Indonesia, yaitu Kabupaten Pidie, Provinsi
Aceh.
Penelitian ini adalah penelitian case-control dan melibatkan 42 balita sebagai
subjek penelitian yang terdiri dari 21 balita stunting dan 21 balita normal.
Rekrutmen subjek didasarkan pada kriteria inklusi dan eksklusi. Mikrobiota usus
dipetakan dengan Next Generation Sequencing (NGS) berbasis gen 16S rDNA (16S
rDNA amplicon sequencing). Pemetaan archaea usus dilakukan dengan primer
yang mengenali wilayah V4-V5 gen 16S rDNA archaea, sedangkan pemetaan
bakteri usus dilakukan dengan primer yang mengenai wilayah V3-V4 gen 16S
rDNA bakteri. Ekstraksi DNA dari feses balita dilakukan oleh PT. Genetika Science
Indonesia dan 16S rDNA amplicon sequencing dilakukan oleh Novogene sebagai
penyedia jasa analisis metagenomik. Data mentah hasil NGS dianalisis lebih lanjut
menggunakan pipeline QIIME2. Analisis bioinformatika dan statistik lainnya
dilakukan untuk menentukan komposisi, diversitas dan prediksi fungsional
metagenom.
Studi ekspresi gen dilakukan dengan metode Quantitative Polymerase Chain
Reaction (qPCR) dari mRNA yang diisolasi dari feses balita. Pada archaea usus,
ekspresi gen yang diamati adalah ekspresi gen mcrA, yang mengkode enzim Methyl
co-enzyme reductase A dan berperan dalam metanogenesis. Pada bakteri usus,
ekspresi gen yang diamati adalah ekspresi berbagai gen virulensi dari patogen usus,
ii
yaitu aaiC (Enteroaggregative Escherichia coli/EAEC), eaeA (Enteropathogenic E.
coli/EPEC), estA (Enterotoxigenic E. coli/ETEC), ipaH3 (Shigella/Enteroinvasive
E. coli/EIEC) dan ompC (Salmonella enterica). Pada penelitian ini juga dilakukan
pengukuran kadar SCFA, GLP-1 dan IGF-1. Penentuan kadar SCFA dari feses
dilakukan dengan metode Gas Chromatography-Mass Spectrometry (GC-MS) oleh
Laboratorium Pusat Rujukan Nasional Prodia, Jakarta. Penentuan kadar GLP-1 dan
IGF-1 dari serum dilakukan dengan metode Enzyme-linked Immunosorbent Assay
(ELISA).
Abnormalitas konsistensi feses, adanya riwayat diare, status imunisasi dasar tidak
lengkap, konsumsi susu formula di usia kurang dari 6 bulan serta rendahnya
konsumsi sayur dan protein hewani adalah sejumlah variabel yang berkaitan dengan
kejadian stunting (p?0,05). Kadar SCFA dan GLP-1 balita stunting tidak berbeda
dengan balita normal. Namun, kadar IGF-1 balita stunting lebih rendah
dibandingkan balita normal. Hasil 16S rDNA amplicon sequencing menunjukkan
kelimpahan relatif archaea dari famili Methanobacteriaceae yang lebih rendah pada
balita stunting dibandingkan balita normal. Methanobrevibacter smithii dan
Methanosphaera stadmanae adalah metanogen yang diidentifikasi. Analisis alpha
diversity menunjukkan bahwa keberadaan metanogen meningkatkan diversitas
mikrobiota usus pada balita stunting. Prediksi fungsional metagenomik juga
menunjukkan jalur metabolisme archaea adalah jalur metabolisme yang aktif pada
balita normal. Level ekpresi gen mcrA ditemukan lebih rendah pada balita stunting
dibandingkan balita normal. Metanogenesis juga diketahui berkorelasi positif
dengan kadar SCFA, GLP-1 dan IGF-1 serta parameter antropometri seperti tinggi
badan dan Body Mass Index (BMI), meskipun tidak signifikan secara statistik.
Komposisi bakteri usus balita stunting menunjukkan adanya kondisi dysbiosis,
yaitu dengan peningkatan rasio Firmicutes terhadap Bacteroides. Selain itu, pada
balita stunting ditemukan kelimpahan relatif yang tinggi dari sejumlah genus yang
berkaitan dengan inflamasi, abnormalitas metabolisme, diet tinggi lemak-rendah
serat seperti Blautia, Dorea, Collinesella, Clostridium sensu stricto dan
Streptococcus. Pada balita stunting juga ditemukan adanya sejumlah kontaminan
biologis seperti Aeromonas, Stappiaceae dan Synechococcus CC9902. Analisis
beta diversity menunjukkan perbedaan yang signifikan antara komposisi
mikrobiota usus balita stunting dengan balita normal. Alpha diversity bakteri usus
pada balita stunting ditemukan lebih rendah dibandingkan balita normal sehingga
dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi patogen. Kerentanan ini
dikonfirmasi dengan peningkatan tingkat ekspresi berbagai gen virulensi yang
menunjukkan tingginya infeksi bakteri patogen pada balita stunting dibandingkan
balita normal. Tingkat ekspresi berbagai gen virulensi bakteri, terutama gen estA
ETEC, berkorelasi negatif dengan kadar IGF-1, tinggi badan, berat badan dan BMI.
Analisis korelasi juga menunjukkan adanya ko-infeksi antar berbagai patogen usus.
Penelitian ini mengkonfirmasi peran penting mikrobiota usus dengan pertumbuhan
pada kasus stunting di Kabupaten Pidie, Provinsi Aceh. Penelitian ini
mengeksplorasi peran archaea metanogen usus dan proses metanogenesis pada
balita stunting yang belum pernah dilaporkan sebelumnya. Studi ekspresi berbagai
gen virulensi bakteri patogen pada balita stunting dan kaitannya dengan metabolit
iii
bakteri (SCFA), protein inang (GLP-1 dan IGF-1) serta parameter antropometri
juga menjadi kebaruan pada penelitian ini. Berbagai hasil penelitian ini
menggarisbawahi sejumlah titik kritis yang harus ditingkatkan dari upaya
penanganan stunting serta merekomendasikan penggunaan prebiotik dan probiotik
untuk memperbaiki keseimbangan mikrobiota usus pada balita stunting dan
mengoptimalkan penyerapan zat gizi serta pertumbuhan. Penelitian lanjutan berupa
eksplorasi bahan pangan lokal sebagai kandidat prebiotik, probiotik dan sinbiotik
untuk stunting serta studi korelasi dengan melibatkan banyak subjek dan desain
kohort diharapkan dapat memberikan hasil yang lebih konklusif dan berkontribusi
signifikan pada upaya penanganan stunting di Aceh dan Indonesia.