Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) mengambil 60% dari Bauran Energi
Indonesia, yang mencerminkan tingginya ketergantungan pada batu bara untuk
menghasilkan listrik. Seiring dengan meningkatnya jumlah kebutuhan listrik,
lambat laun emisi GRK pun timbul sebagai dampak dari kegiatan PLTU. Namun,
Pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk mengurangi emisi karbon
berdasarkan Kontribusi Nasional Indonesia (INDC) dalam Perjanjian Paris.
Target penurunan emisi sebesar 29% dengan upaya Indonesia dan 41% dengan
dukungan internasional pada tahun 2030. Indonesia akan menghadapi tantangan
dalam mencapai target ini karena stagnasi transisi energi yang dipengaruhi oleh
kurangnya investasi dan penerapan kebijakan yang tidak konsisten. Penerapan
“Carbon Capture Storage” (CCS) pada PLTU “Ultra-Supercritical” (USC)
diusulkan menjadi salah satu solusi yang paling sesuai untuk mendukung INDC
dalam mengurangi emisi GRK.
Permasalahan bisnis yang ada diperoleh dari wawancara pemangku kepentingan
dan tinjauan literatur dengan menggunakan “system thinking” sebagai pendekatan
kualitatif sehingga menghasilkan faktor kunci yang ditentukan dari kompleksnya
sistem dalam bisnis pembangkitan listrik. Hasil pendekatan kualitatif dipadukan
dengan pendekatan kuantitatif menggunakan persamaan matematis dalam
pemodelan dinamika sistem. Beberapa skenario akan disimulasikan untuk mewakili
kondisi aktual dan menunjukkan implikasi perubahan variabel seiring berjalannya
waktu dalam penerapan CCS di PLTU USC dalam penurunan Emisi GRK.
Simulasi penerapan CCS menghasilkan penurunan emisi GRK. Pemerintah
Indonesia memainkan peran penting dalam dukungan keuangan dan peraturan.
Namun, jumlah penurunan emisi tersebut tidak signifikan dibandingkan dengan
program pensiun PLTU. Oleh karena itu, skenario yang paling efektif adalah
program pensiun PLTU dengan porsi 40% dalam bauran energi Indonesia yang
berhasil menurunkan emisi GRK menjadi 5,63 miliar tCO2e dengan investasi
sebesar 12,79 miliar USD