Latar belakang dan tujuan: Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) merupakan tanaman asli Indonesia yang termasuk kedalam suku Zingiberaceae dengan xanthorrizol sebagai senyawa penanda aktif. Xanthorrhizol merupakan senyawa sesquiterpen memiliki aktivitas farmakologi seperti antiinflamasi, antikanker, dan antibakteri. Kandungan xanth01Tizol yang sedikit dalam rimpang temulawak dengan menggunakan metode konvensional mendorong penggunaan metode altematif seperti kultur jaringan. Optimasi media dilakukan untuk meningkatkan rendemen pada kultur jaringan. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan pengaruh konsentrsi benziladenin amino purin (BAP) sukrosa terhadap pertumbuhan microrhizome dan kadar xanthorrizol. Metode: Temulawak disterilisasi secara aseptis kemudian ditumbuhkan pada media prekultur. Eksplan yang diperoleh ditumbuhkan kembali pada media induksi microrhizome dengan variasi BAP (l, 2, 3 mg/L) dan sukrosa (6, 9, 12 g/L). Multiplikasi dan tinggi tunas, panjang daun, serta bobot microrhizome diukur pada minggu ke empat, ke enam dan ke delapan dari waktu penanaman. Kadar xanthorrizol ditentukan setelah dua bulan dengan menggunakan KLT-spektT0fotodensitometri. Kadar xanthorrizol hasil induksi microrhizome kemudian dibandingkan terhadap rimpang tumbuhan liar dan standar. Hasil: media S7 (3 mg/L BAP + 60 mg/L sukrosa) menunjukan hasil induksi tunas terbaik, bobot kering microrhizome terbaik dihasilkan oleh media S6 (2mg/L BAP + 12 mg/L sukrosa), kadar xanthorrizol kultur microrhizome paling tinggi dihasilkan oleh media S7 (3 mg/L BAP + 6g/L sukrosa) dengan kadar 0,25 % dan kadar xanthorrhizol yang dihasilkan rimpang liar sebesar 0,04%. Kesimpulan: kultur microrhizome dapat menghasilkan xanthorrhizol lima kali lebih tinggi darl rimpang wild-tipe.