ABSTRAK Anindya Nakhwa Mutiara Ariiba
Terbatas Open In Flip Book Yoninur Almira
» Gedung UPT Perpustakaan
» ITB
Terbatas Open In Flip Book Yoninur Almira
» Gedung UPT Perpustakaan
» ITB
BAB 1 Anindya Nakhwa Mutiara Ariiba
Terbatas Open In Flip Book Yoninur Almira
» Gedung UPT Perpustakaan
» ITB
Terbatas Open In Flip Book Yoninur Almira
» Gedung UPT Perpustakaan
» ITB
BAB 2 Anindya Nakhwa Mutiara Ariiba
Terbatas Open In Flip Book Yoninur Almira
» Gedung UPT Perpustakaan
» ITB
Terbatas Open In Flip Book Yoninur Almira
» Gedung UPT Perpustakaan
» ITB
BAB 3 Anindya Nakhwa Mutiara Ariiba
Terbatas Open In Flip Book Yoninur Almira
» Gedung UPT Perpustakaan
» ITB
Terbatas Open In Flip Book Yoninur Almira
» Gedung UPT Perpustakaan
» ITB
BAB 4 Anindya Nakhwa Mutiara Ariiba
Terbatas Open In Flip Book Yoninur Almira
» Gedung UPT Perpustakaan
» ITB
Terbatas Open In Flip Book Yoninur Almira
» Gedung UPT Perpustakaan
» ITB
BAB 5 Anindya Nakhwa Mutiara Ariiba
Terbatas Open In Flip Book Yoninur Almira
» Gedung UPT Perpustakaan
» ITB
Terbatas Open In Flip Book Yoninur Almira
» Gedung UPT Perpustakaan
» ITB
PUSTAKA Anindya Nakhwa Mutiara Ariiba
Terbatas Open In Flip Book Yoninur Almira
» Gedung UPT Perpustakaan
» ITB
Terbatas Open In Flip Book Yoninur Almira
» Gedung UPT Perpustakaan
» ITB
LAMPIRAN Anindya Nakhwa Mutiara Ariiba
Terbatas Open In Flip Book Yoninur Almira
» Gedung UPT Perpustakaan
» ITB
Terbatas Open In Flip Book Yoninur Almira
» Gedung UPT Perpustakaan
» ITB
Lokasi geografis yang strategis di tengah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan resiko
bencana alam yang minim menjadi faktor pendukung proyek pemindahan ibu kota baru ke
Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara serta Kecamatan Samboja, Kabupaten
Kutai Kartanegara. Namun, tujuan awal untuk menuntaskan ketimpangan distribusi penduduk
dan pemerataan ekonomi begitu kontradiktif dengan kenyataan bahwa proyek pembangunan
tidak memberdayakan tenaga kerja lokal dan hanya 0,9% lahan Ibu Kota Negara “Nusantara”
yang bukan termasuk lahan adat sehingga berpotensi menggusur 20.000 penduduk asli,
terutama masyarakat adat. Ditambah lagi dengan pengambilalihan lahan mata pencaharian
yang menjadi sumber penghidupan masyarakat adat. Minimnya pelibatan masyarakat adat
dalam proses perumusan dan hasil rumusan perencanaan Ibu Kota Negara “Nusantara”
berpotensi menyebabkan gentrifikasi secara ruang, alienasi secara sosial, dan disparitas secara
ekonomi. Oleh karena itu, disusunlah tugas akhir berjudul “Evaluasi Perencanaan Partisipatif
Ibu Kota Negara Terhadap Pelibatan Masyarakat Adat dengan SDGs Based Public
Participation Framework” dengan tujuan untuk mengevaluasi partisipasi masyarakat adat
dalam perencanaan Ibu Kota Negara “Nusantara”. Data primer diperoleh melalui observasi dan
kuesioner yang dibagikan secara langsung pada kegiatan praktik lapangan di Ibu Kota Negara
“Nusantara”, yaitu terkait proses perumusan. Sedangkan, data sekunder terkait hasil rumusan
diperoleh melalui studi pustaka, yaitu dokumen perencanaan dan peraturan kebijakan dari
Kementerian/Lembaga. Temuan studi menunjukkan bahwa implementasi partisipasi bottomup justru lebih efektif bagi masyarakat adat, yaitu partisipasi internal yang diinisiasi oleh kepala
suku sebagaimana terjadi pada beberapa suku adat di wilayah Ibu Kota Negara “Nusantara”
walaupun belum secara keseluruhan. Program partisipatif yang dicanangkan pemerintah masih
sebatas partisipasi semu yang hanya melibatkan representatif dari masyarakat adat.
Berdasarkan lima belas kriteria SDGs yang ditetapkan sebagai kondisi ideal, hasil evaluasi
terhadap delapan puluh responden kuesioner menunjukkan bahwa rata-rata skoring suku adat
dan skoring secara umum adalah 0,65. Skor ini bermakna bahwa tingkat partisipasi masyarakat
adat dalam proses perumusan rencana Ibu Kota Negara “Nusantara” mencapai kategori di atas
semi-participated. Sedangkan, hasil evaluasi terhadap hasil rumusan perencanaan
menunjukkan bahwa aspirasi masyarakat adat telah ditindaklanjuti dan seluruh peraturan
kebijakan dan dokumen perencanaan Ibu Kota Negara “Nusantara” telah konsisten dengan
peraturan eksisting terkait pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat. Terakhir, sepuluh
dari dua belas rumusan telah terdapat program pembangunan untuk pemberdayaan sosial dan
peningkatan kapasitas masyarakat adat serta tiga dari dua belas rumusan telah terdapat alokasi
anggaran dengan menjadikan masyarakat adat sebagai target sasaran atau penerima program.