digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

ABSTRAK Nira Yunita Permata Rahibi
PUBLIC Irwan Sofiyan

Proyek rehabilitasi suatu bangunan dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan fungsionalitas, keamanan, dan daya tarik dalam segi estetika dari gedung yang dibangun. Namun, proyek-proyek rehabilitasi ini tidak luput dari change orders, yaitu suatu proses modifikasi atau penyesuaian yang dilakukan terhadap lingkup pekerjaan awal selama tahap pembangunan konstruksi. Change orders dapat memberikan dampak signifikan terhadap biaya yang dikeluarkan, jadwal, dan keberhasilan proyek secara keseluruhan. Analisis risiko change orders meliputi proses penilaian sistematis tentang semua kemungkinan dan potensi dampak yang ditimbulkan dari change orders sepanjang siklus proyek. Analisis dimulai dengan mengidentifikasi faktor-faktor yang berkontribusi terhadap change orders dalam proyek rehabilitasi gedung, seperti perubahan desain, kondisi lokasi yang tidak terduga, atau preferensi user. Faktor-faktor ini kemudian diidentifikasi dan dievaluasi berdasarkan kemungkinan terjadinya dan potensi dampak yang ditimbulkan terhadap biaya proyek, jadwal, kualitas, dan kepuasan para pemangku kepentingan. Gedung X merupakan salah satu bangunan gedung yang direhabilitasi guna meningkatkan fungsi bangunan. Gedung X merupakan bangunan lama yang tidak pernah mengalami renovasi sejak pertama kali dibangun pada tahun 1984, sehingga semua dokumen terkait pembangunan gedung kemungkinan telah rusak atau hilang. Hal tersebut menyebabkan kondisi gedung saat ini tidak teridentifikasi, dan menimbulkan change orders pada saat pelaksanaan rehabilitasi. Change orders dilakukan untuk menganalisis dan mengendalikan risiko yang terjadi sepanjang pelaksanaan rehabilitasi gedung. Salah satu metode yang dapat digunakan dalam proses change order, dan digunakan pula pada penelitian ini adalah metode Failure Mode and Effect Analysis (FMEA). Metode Failure Mode and Effect Analysis digunakan untuk mendeteksi atau mengontrol kemungkinan kegagalan yang terjadi pada proses rehabilitasi gedung, dan FMEA juga menghasilkan output berupa risiko dominan dari proses rahabilitasi gedung. Penilaian yang digunakan pada metode FMEA adalah perhitungan nilai Severity (tingkatan keparahan), Occurrence (tingkatan kejadian), dan Detection (tingkatan deteksi). Kemudian ketiga nilai tersebut dikalikan dan menghasilkan nilai Risk Priority Number (RPN). Risk Priority Number dengan nilai paling tinggi merupakan risiko yang paling dominan untuk segera dimitigasi. Hasil dari analisis kualitatif dengan menggunakan metode Failure Mode and Effect Analysis berupa 9 risiko yang termasuk ke dalam kategori risiko tinggi dan 4 risiko yang termasuk ke dalam kategori risiko sedang. Perhitungan nilai RPN dengan menggunakan metode Failure Mode and Effect Analysis menghasilkan identifikasi risiko urutan pertama yaitu degradasi material yang tidak terdeteksi dengan skor RPN sebesar 360. Pemantauan dan pemeliharaan rutin yang kurang dapat menyebabkan kegagalan dalam mengidentifikasi tanda-tanda degradasi material, dan ketidakmampuan dalam penerapan intervensi tepat waktu. Kegagalan ini memberikan dampak pada keterlambatan perkembangan pekerjaan dan menimbulkan change order karena adanya degradasi material yang terdeteksi saat pelaksanaan pekerjaan. Identifikasi risiko yang menempati urutan kedua yaitu kemampuan dalam melakukan koordinasi dan komunikasi antar pemangku kepentingan. Jika melihat matriks risiko dengan kode X12, yang menempati urutan kedua berada pada skala severity 4 dan skala probability 5, sama dengan hasil matriks risiko untuk kode X1 dengan nilai skala severity 4 dan skala probability 5. Hasil matriks tersebut mengindikasi bahwa degradasi material tidak terdeteksi pada studi kasus proyek rehabilitasi Gedung X, serta kemampuan koordinasi dan komunikasi antar pemangku kepentingan memiliki probabilitas yang sama tinggi berdasarkan hasil survei dan dikerjakan pada saat pandemi COVID-19. Adanya regulasi pemerintah terkait Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) saat pandemi COVID-19 dilakukan akibat tingginya angka penyebaran virus COVID-19. PPKM berdampak pada keterbatasan kegiatan survei lokasi proyek selama pelaksanaan proyek konstruksi. Selain itu, faktor risiko lain yang terjadi pada proyek rehabilitasi gedung adalah as-built drawing yang tidak tersedia dan keterlambatan pembayaran kepada pelaksana proyek konstruksi.