digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Pasien COVID-19 berisiko mengalami infeksi sekunder selama perawatan di rumah sakit. Infeksi virus pada saluran pernafasan dapat menjadi predisposisi infeksi sekunder bakteri yang dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Data infeksi sekunder pada pasien COVID-19 di Indonesia masih terbatas, sementara terapi antibiotik empiris banyak digunakan pada awal pandemi. Tingginya penggunaan antibiotik pada pasien COVID-19 dapat meningkatkan resistensi bakteri terhadap antibiotik. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi pola bakteri dan kepekaan antibiotik, menganalisis kuantitas penggunaan antibiotik pada pasien COVID-19 dengan dan tanpa infeksi sekunder bakteri, menganalisis kualitas penggunaan antibiotik pada pasien COVID-19 dengan infeksi sekunder bakteri, serta menganalisis faktor yang mempengaruhi luaran klinis pasien COVID-19 dengan infeksi sekunder bakteri. Penelitian ini merupakan deskriptif analitik dengan metode cross sectional menggunakan data retrospektif di salah satu rumah sakit tipe A di Bandung pada periode Maret 2020-Februari 2022. Subjek penelitian terdiri dari 302 pasien COVID-19 di ruang perawatan intensif yang memenuhi kriteria inklusi yaitu 116 subjek dengan infeksi sekunder bakteri dan 186 subjek tanpa infeksi sekunder bakteri. Subjek dibagi menjadi 2 periode yaitu periode 1 (Maret 2020-Februari 2021) dan periode 2 (Maret 2021-Februari 2022). Analisis kuantitatif antibiotik menggunakan metode ATC/DDD dan segmen DU 90%, serta analisis kualitatif antibiotik menggunakan metode Gyssens. Hasil penelitian menunjukkan 38,41% subjek mengalami infeksi sekunder bakteri. Infeksi sekunder bakteri paling banyak disebabkan oleh bakteri Gram negatif yang diidentifikasi pada sputum yaitu Acinetobacter baumannii (56,03%), Klebsiella pneumoniae (38,79%), dan Pseudomonas aeruginosa (9,48%). Sedangkan bakteri Gram positif yaitu Staphylococcus haemolyticus (11,21%), Staphylococcus hominis (3,45%), dan Streptococcus mitis (2,59%). Antibiotik dengan sensitivitas tertinggi terhadap bakteri Gram negatif pada subjek yaitu amikasin dan tigesiklin. Sedangkan terhadap bakteri Gram positif pada subjek yaitu vankomisin, linezolid, tetrasiklin dan tigesiklin. Analisis kuantitatif menunjukkan antibiotik terbanyak pada subjek dengan infeksi sekunder bakteri yaitu levofloksasin sebesar 35,23 DDD/100 patient-days pada periode 1 dan 26,01 DDD/100 patient-days pada periode 2 (p<0,001). Sementara pada subjek tanpa infeksi sekunder bakteri, antibiotik terbanyak yaitu levofloksasin sebesar 21,46 DDD/100 patient-days pada periode 1 dan 19,15 DDD/100 patient-days pada periode 2 (p=0,005). Pada subjek dengan infeksi sekunder bakteri, antibiotik yang masuk segmen DU 90% pada periode 1 yaitu levofloksasin, meropenem, amikasin, seftriakson, dan vankomisin. Sedangkan pada periode 2 yaitu levofloksasin, meropenem, seftriakson, amikasin dan tigesiklin. Hasil analisis kualitatif pada subjek dengan infeksi sekunder bakteri pada periode 1 menunjukkan bahwa 82,28% penggunaan antibiotik tepat dan 17,72% penggunaan antibiotik tidak tepat yang terdiri dari 13,61% kategori IIIa, 4,19% kategori IVa dan 0,52% kategori IIa. Sementara pada periode 2, sebanyak 84,9% penggunaan antibiotik tepat dan 15,1% penggunaan antibiotik tidak tepat yang terdiri dari 11,80% kategori IIIa, 2,36% kategori IVa, dan 0,94% kategori IIa. Tidak ada perbedaan signifikan pada kedua periode. Infeksi sekunder bakteri pada penelitian ini paling banyak disebabkan oleh bakteri Gram negatif. Kuantitas penggunaan antibiotik mengalami perbaikan pada periode 2 dan bermakna secara statistik, sedangkan kualitas penggunaan antibiotik mengalami perbaikan tetapi tidak bermakna secara statistik. Kualitas penggunaan antibiotik tidak berpengaruh bermakna pada luaran klinis. Luaran klinis pasien COVID-19 dengan infeksi sekunder bakteri dipengaruhi oleh usia, riwayat merokok, PPOK, penggunaan ventilator, dan penyakit jantung hipertensi.