Pasien COVID-19 berisiko mengalami infeksi sekunder selama perawatan di rumah
sakit. Infeksi virus pada saluran pernafasan dapat menjadi predisposisi infeksi
sekunder bakteri yang dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Data infeksi
sekunder pada pasien COVID-19 di Indonesia masih terbatas, sementara terapi
antibiotik empiris banyak digunakan pada awal pandemi. Tingginya penggunaan
antibiotik pada pasien COVID-19 dapat meningkatkan resistensi bakteri terhadap
antibiotik. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi pola bakteri dan
kepekaan antibiotik, menganalisis kuantitas penggunaan antibiotik pada pasien
COVID-19 dengan dan tanpa infeksi sekunder bakteri, menganalisis kualitas
penggunaan antibiotik pada pasien COVID-19 dengan infeksi sekunder bakteri,
serta menganalisis faktor yang mempengaruhi luaran klinis pasien COVID-19
dengan infeksi sekunder bakteri. Penelitian ini merupakan deskriptif analitik
dengan metode cross sectional menggunakan data retrospektif di salah satu rumah
sakit tipe A di Bandung pada periode Maret 2020-Februari 2022. Subjek penelitian
terdiri dari 302 pasien COVID-19 di ruang perawatan intensif yang memenuhi
kriteria inklusi yaitu 116 subjek dengan infeksi sekunder bakteri dan 186 subjek
tanpa infeksi sekunder bakteri. Subjek dibagi menjadi 2 periode yaitu periode 1
(Maret 2020-Februari 2021) dan periode 2 (Maret 2021-Februari 2022). Analisis
kuantitatif antibiotik menggunakan metode ATC/DDD dan segmen DU 90%, serta
analisis kualitatif antibiotik menggunakan metode Gyssens. Hasil penelitian
menunjukkan 38,41% subjek mengalami infeksi sekunder bakteri. Infeksi sekunder
bakteri paling banyak disebabkan oleh bakteri Gram negatif yang diidentifikasi
pada sputum yaitu Acinetobacter baumannii (56,03%), Klebsiella pneumoniae
(38,79%), dan Pseudomonas aeruginosa (9,48%). Sedangkan bakteri Gram positif
yaitu Staphylococcus haemolyticus (11,21%), Staphylococcus hominis (3,45%),
dan Streptococcus mitis (2,59%). Antibiotik dengan sensitivitas tertinggi terhadap
bakteri Gram negatif pada subjek yaitu amikasin dan tigesiklin. Sedangkan terhadap
bakteri Gram positif pada subjek yaitu vankomisin, linezolid, tetrasiklin dan
tigesiklin. Analisis kuantitatif menunjukkan antibiotik terbanyak pada subjek
dengan infeksi sekunder bakteri yaitu levofloksasin sebesar 35,23 DDD/100
patient-days pada periode 1 dan 26,01 DDD/100 patient-days pada periode 2
(p<0,001). Sementara pada subjek tanpa infeksi sekunder bakteri, antibiotik
terbanyak yaitu levofloksasin sebesar 21,46 DDD/100 patient-days pada periode 1
dan 19,15 DDD/100 patient-days pada periode 2 (p=0,005). Pada subjek dengan
infeksi sekunder bakteri, antibiotik yang masuk segmen DU 90% pada periode 1
yaitu levofloksasin, meropenem, amikasin, seftriakson, dan vankomisin.
Sedangkan pada periode 2 yaitu levofloksasin, meropenem, seftriakson, amikasin
dan tigesiklin. Hasil analisis kualitatif pada subjek dengan infeksi sekunder bakteri
pada periode 1 menunjukkan bahwa 82,28% penggunaan antibiotik tepat dan
17,72% penggunaan antibiotik tidak tepat yang terdiri dari 13,61% kategori IIIa,
4,19% kategori IVa dan 0,52% kategori IIa. Sementara pada periode 2, sebanyak
84,9% penggunaan antibiotik tepat dan 15,1% penggunaan antibiotik tidak tepat
yang terdiri dari 11,80% kategori IIIa, 2,36% kategori IVa, dan 0,94% kategori IIa.
Tidak ada perbedaan signifikan pada kedua periode. Infeksi sekunder bakteri pada
penelitian ini paling banyak disebabkan oleh bakteri Gram negatif. Kuantitas
penggunaan antibiotik mengalami perbaikan pada periode 2 dan bermakna secara
statistik, sedangkan kualitas penggunaan antibiotik mengalami perbaikan tetapi
tidak bermakna secara statistik. Kualitas penggunaan antibiotik tidak berpengaruh
bermakna pada luaran klinis. Luaran klinis pasien COVID-19 dengan infeksi
sekunder bakteri dipengaruhi oleh usia, riwayat merokok, PPOK, penggunaan
ventilator, dan penyakit jantung hipertensi.