digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Siklon tropis memiliki intensitas yang semakin meningkat akibat perubahan iklim dan semakin merusak sistem fisik. Rumah paling dirusak sehingga perlu mendapatkan perhatian khusus karena berkaitan dengan pemulihan pasca bencana dan bagaimana masyarakat bangkit kembali. Disaster resilient housing dibutuhkan dengan membangun rumah lebih aman dengan tetap memperhatikan aspek sosial masyarakatnya. Namun, kebijakan dan standar masih terbatas dan siklon tropis belum menjadi klaster bencana di Indonesia. Dari banyak studi, preferensi masyarakat seringkali luput pada masa rekonstruksi. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi seperti apa kebijakan yang sudah ada terkait perumahan dalam konteks kebencanaan dan ketahanannya, serta implikasinya terhadap kondisi perumahan pra-pasca siklon tropis. Dengan menggunakan studi kasus Siklon Seroja yang terjadi dan menghantam daratan Kota dan Kabupaten Kupang di NTT, Indonesia yang merusak ribuan rumah di dalamnya, penelitian ini dilaksanakan dengan pendekatan kualitatif untuk eksplorasi fitur kebijakan perumahan yang ada terkait sejauhmana ketahanan bencana sudah dipertimbangkan serta meninjau kondisi di lapangan dan memahami persepsi dari masyarakat. Studi ini dilalui melalui wawancara instansi dan masyarakat, observasi rumah masyarakat, dan FGD komunitas terdampak serta dilengkapi data sekunder terkait. Adapun analisis yang dilakukan secara kualitatif melalui pengkodean dengan aplikasi ATLAS.ti. Hasil identifikasi yang dilakukan menunjukkan bahwa terdapat beberapa hal yang menjadi tantangan untuk mengimplementasikan kebijakan terkait perumahan tahan bencana, antara lain dari dasar regulasi, mekanisme penyediaan, standardisasi yang berlaku, hingga implementasi dalam dokumen perencanaan. Regulasi dan mekanisme penyediaan belum secara spesifik mengatur terkait perumahan tahan bencana yang orientasinya pembangunan rumah layak huni, meskipun beberapa bagian mengindikasikan prinsip resilient housing. Untuk menyediakannya pun ditemui hambatan, seperti kendala administratif dan keberterimaan masyarakat akan bantuan, birokrasi, kepemilikan tanah dan perizinan, dan sebagainya. Selain itu, standardisasi yang sudah ada masih belum sepenuhnya dapat menahan beban angin tinggi. Integrasi dalam dokumen perencanaan juga belum terlihat, khususnya jika berbicara siklon tropis. Kondisiii lapangannya menunjukkan perubahan kondisi rumah pra-pasca siklon tropis. Namun, seperti yang diatur di dalam kebijakan, rumah belum berorientasi tahan bencana. Pada sisi positifnya, sudah terdapat beberapa pihak yang menginisasi untuk membangun rumah yang lebih tahan. Studi ini ingin menunjukkan bahwa pra-pasca siklon tropis telah membawa perubahan kondisi rumah ke arah yang lebih baik, meskipun masih merupakan proses yang panjang jika ingin mencapai ketahanan bencana dengan instrumen kebijakan yang belum memadai. Di samping itu, kurangnya pengetahuan akan bahaya siklon tropis juga dapat menjadi faktor, karena tiap bahaya dapat memberikan dampak kerusakan yang berbeda terhadap rumah. Standardisasi yang lebih kuat perlu disosialisasikan pada masyarakat. Bencana sebagai cross-cutting issues menjadi kunci yang membutuhkan koordinasi lintas sektor dan melibatkan partisipasi aktif masyarakat.