Siklon tropis memiliki intensitas yang semakin meningkat akibat perubahan iklim
dan semakin merusak sistem fisik. Rumah paling dirusak sehingga perlu
mendapatkan perhatian khusus karena berkaitan dengan pemulihan pasca bencana
dan bagaimana masyarakat bangkit kembali. Disaster resilient housing dibutuhkan
dengan membangun rumah lebih aman dengan tetap memperhatikan aspek sosial
masyarakatnya. Namun, kebijakan dan standar masih terbatas dan siklon tropis
belum menjadi klaster bencana di Indonesia. Dari banyak studi, preferensi
masyarakat seringkali luput pada masa rekonstruksi. Oleh karena itu, penelitian ini
bertujuan untuk mengidentifikasi seperti apa kebijakan yang sudah ada terkait
perumahan dalam konteks kebencanaan dan ketahanannya, serta implikasinya
terhadap kondisi perumahan pra-pasca siklon tropis. Dengan menggunakan studi
kasus Siklon Seroja yang terjadi dan menghantam daratan Kota dan Kabupaten
Kupang di NTT, Indonesia yang merusak ribuan rumah di dalamnya, penelitian ini
dilaksanakan dengan pendekatan kualitatif untuk eksplorasi fitur kebijakan
perumahan yang ada terkait sejauhmana ketahanan bencana sudah dipertimbangkan
serta meninjau kondisi di lapangan dan memahami persepsi dari masyarakat. Studi
ini dilalui melalui wawancara instansi dan masyarakat, observasi rumah
masyarakat, dan FGD komunitas terdampak serta dilengkapi data sekunder terkait.
Adapun analisis yang dilakukan secara kualitatif melalui pengkodean dengan
aplikasi ATLAS.ti. Hasil identifikasi yang dilakukan menunjukkan bahwa terdapat
beberapa hal yang menjadi tantangan untuk mengimplementasikan kebijakan
terkait perumahan tahan bencana, antara lain dari dasar regulasi, mekanisme
penyediaan, standardisasi yang berlaku, hingga implementasi dalam dokumen
perencanaan. Regulasi dan mekanisme penyediaan belum secara spesifik mengatur
terkait perumahan tahan bencana yang orientasinya pembangunan rumah layak
huni, meskipun beberapa bagian mengindikasikan prinsip resilient housing. Untuk
menyediakannya pun ditemui hambatan, seperti kendala administratif dan
keberterimaan masyarakat akan bantuan, birokrasi, kepemilikan tanah dan
perizinan, dan sebagainya. Selain itu, standardisasi yang sudah ada masih belum
sepenuhnya dapat menahan beban angin tinggi. Integrasi dalam dokumen
perencanaan juga belum terlihat, khususnya jika berbicara siklon tropis. Kondisiii
lapangannya menunjukkan perubahan kondisi rumah pra-pasca siklon tropis.
Namun, seperti yang diatur di dalam kebijakan, rumah belum berorientasi tahan
bencana. Pada sisi positifnya, sudah terdapat beberapa pihak yang menginisasi
untuk membangun rumah yang lebih tahan. Studi ini ingin menunjukkan bahwa
pra-pasca siklon tropis telah membawa perubahan kondisi rumah ke arah yang lebih
baik, meskipun masih merupakan proses yang panjang jika ingin mencapai
ketahanan bencana dengan instrumen kebijakan yang belum memadai. Di samping
itu, kurangnya pengetahuan akan bahaya siklon tropis juga dapat menjadi faktor,
karena tiap bahaya dapat memberikan dampak kerusakan yang berbeda terhadap
rumah. Standardisasi yang lebih kuat perlu disosialisasikan pada masyarakat.
Bencana sebagai cross-cutting issues menjadi kunci yang membutuhkan koordinasi
lintas sektor dan melibatkan partisipasi aktif masyarakat.