digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Mempertimbangkan dimensi manusia ke dalam PRL sudah banyak disarankan agar tercapai keberlanjutan sosial dalam pemanfaatan ruang pesisir dan laut. Namun realitas menunjukkan bahwa praktik PRL kurang mempertimbangkan dimensi manusia. Padahal pengabaian terhadap dimensi manusia dapat berakibat pada terancam hilangnya warisan, mata pencaharian, dan budaya masyarakat pesisir yang selama ini mengandalkan lingkungan laut. Penelitian ini mengeksplorasi lebih dalam mengenai dilema dalam penggunaan dimensi manusia tersebut serta mencoba memahami bagaimana keputusan dibuat di tengah dilema dengan menggunakan teori habitus. Teori habitus melengkapi argumentasi akademik mengenai penggunaan dimensi manusia yang selama ini hanya menekankan pada aspek objektif seperti stuktur kekuasaan dan kapasitas sumberdaya yang dimiliki. Pada konteks ini, habitus institusi yang dipengaruhi oleh disposisi subjektif dan struktur objektif akan memainkan peran penting dalam membingkai rasionalitas pengambilan keputusan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif karena memiliki kemampuan dalam menggali informasi yang bersifat eksplanasi dan sifatnya yang naturalistik. Penelitian ini mempekerjakan beberapa teknik pengumpulan data yaitu observasi, wawancara, dan studi dokumen. Strategi yang digunakan adalah studi kasus untuk mendapatkan informasi mendalam tentang bagaimana dilema dimensi manusia dan keterbatasan rasionalitas PRL pada konteks yang spesifik. Hasil penelitian menunjukkan penggunaan dimensi manusia menjadi terbatas tergantung pada tiga hal yaitu dilema yang dihadapi dalam PRL sebagai arena, kepemilikan modal institusi, dan habitus institusi. Keterbatasan tersebut membuat tipe keputusan penggunaan dimensi manusia dalam PRL terbagi menjadi tiga yaitu adopsi, adopsi secara terbatas, dan abai. Dampak keputusan tersebut adalah belum tercapai sepenuhnya tujuan penggunaan dimensi manusia. Meskipun demikian, partisipasi masyarakat justru dapat lebih berkembang secara informal pasca terbitnya zonasi. Masyarakat banyak terlibat dalam pengawasan, sosialisasi dan pembuatan regulasi berbasis masyarakat pada zona-zona pemanfaatan. Kondisi tersebut membuat pelaksanaan zonasi bersifat fleksibel sehingga kepentingan dasar masyarakat yang terganggu dapat dinegosiasikan. Misalnya penangkapan ikan untuk sekedar memenuhi kebutuhan hidup masih dapat ditoleransi meski dilakukanii pada zona-zona terlarang seperti zona perlindungan dan zona inti. Pendekatan persuasif dari para tokoh masyarakat yang bermitra dengan BTNKJ menjadi strategi untuk meningkatkan kepatuhan masyarakat meski membutuhkan waktu panjang agar berhasil. Aspek distribusi manfaat secara umum masih berpihak pada masyarakat lokal setidaknya hal tersebut terlihat dari pemanfaatan ruang pesisir dan laut untuk perikanan tangkap dan pariwisata bahari. Hal tersebut terjadi karena inisiatif-inisiatif aktor lokal yang didukung oleh BTNKJ dalam melindungi kepentingan masyarakat pada dua jenis pemanfaatan tersebut. Sementara ancaman lahir dari kegiatan tambak udang di mana masyarakat lebih banyak dirugikan daripada manfaat yang diberikan.