Mempertimbangkan dimensi manusia ke dalam PRL sudah banyak disarankan agar
tercapai keberlanjutan sosial dalam pemanfaatan ruang pesisir dan laut. Namun
realitas menunjukkan bahwa praktik PRL kurang mempertimbangkan dimensi
manusia. Padahal pengabaian terhadap dimensi manusia dapat berakibat pada
terancam hilangnya warisan, mata pencaharian, dan budaya masyarakat pesisir
yang selama ini mengandalkan lingkungan laut. Penelitian ini mengeksplorasi lebih
dalam mengenai dilema dalam penggunaan dimensi manusia tersebut serta
mencoba memahami bagaimana keputusan dibuat di tengah dilema dengan
menggunakan teori habitus. Teori habitus melengkapi argumentasi akademik
mengenai penggunaan dimensi manusia yang selama ini hanya menekankan pada
aspek objektif seperti stuktur kekuasaan dan kapasitas sumberdaya yang dimiliki.
Pada konteks ini, habitus institusi yang dipengaruhi oleh disposisi subjektif dan
struktur objektif akan memainkan peran penting dalam membingkai rasionalitas
pengambilan keputusan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
kualitatif karena memiliki kemampuan dalam menggali informasi yang bersifat
eksplanasi dan sifatnya yang naturalistik. Penelitian ini mempekerjakan beberapa
teknik pengumpulan data yaitu observasi, wawancara, dan studi dokumen. Strategi
yang digunakan adalah studi kasus untuk mendapatkan informasi mendalam
tentang bagaimana dilema dimensi manusia dan keterbatasan rasionalitas PRL pada
konteks yang spesifik.
Hasil penelitian menunjukkan penggunaan dimensi manusia menjadi terbatas
tergantung pada tiga hal yaitu dilema yang dihadapi dalam PRL sebagai arena,
kepemilikan modal institusi, dan habitus institusi. Keterbatasan tersebut membuat
tipe keputusan penggunaan dimensi manusia dalam PRL terbagi menjadi tiga yaitu
adopsi, adopsi secara terbatas, dan abai. Dampak keputusan tersebut adalah belum
tercapai sepenuhnya tujuan penggunaan dimensi manusia. Meskipun demikian,
partisipasi masyarakat justru dapat lebih berkembang secara informal pasca
terbitnya zonasi. Masyarakat banyak terlibat dalam pengawasan, sosialisasi dan
pembuatan regulasi berbasis masyarakat pada zona-zona pemanfaatan. Kondisi
tersebut membuat pelaksanaan zonasi bersifat fleksibel sehingga kepentingan dasar
masyarakat yang terganggu dapat dinegosiasikan. Misalnya penangkapan ikan
untuk sekedar memenuhi kebutuhan hidup masih dapat ditoleransi meski dilakukanii
pada zona-zona terlarang seperti zona perlindungan dan zona inti. Pendekatan
persuasif dari para tokoh masyarakat yang bermitra dengan BTNKJ menjadi
strategi untuk meningkatkan kepatuhan masyarakat meski membutuhkan waktu
panjang agar berhasil. Aspek distribusi manfaat secara umum masih berpihak pada
masyarakat lokal setidaknya hal tersebut terlihat dari pemanfaatan ruang pesisir dan
laut untuk perikanan tangkap dan pariwisata bahari. Hal tersebut terjadi karena
inisiatif-inisiatif aktor lokal yang didukung oleh BTNKJ dalam melindungi
kepentingan masyarakat pada dua jenis pemanfaatan tersebut. Sementara ancaman
lahir dari kegiatan tambak udang di mana masyarakat lebih banyak dirugikan
daripada manfaat yang diberikan.