digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

ABSTRAK Hafiyyan Hilmy Fawwaz
Terbatas Yoninur Almira
» ITB

BAB 1 Hafiyyan Hilmy Fawwaz
Terbatas Yoninur Almira
» ITB

BAB 2 Hafiyyan Hilmy Fawwaz
Terbatas Yoninur Almira
» ITB

BAB 3 Hafiyyan Hilmy Fawwaz
Terbatas Yoninur Almira
» ITB

BAB 4 Hafiyyan Hilmy Fawwaz
Terbatas Yoninur Almira
» ITB

BAB 5 Hafiyyan Hilmy Fawwaz
Terbatas Yoninur Almira
» ITB

PUSTAKA Hafiyyan Hilmy Fawwaz
Terbatas Yoninur Almira
» ITB

Digitalisasi merupakan salah satu bentuk adaptasi suatu usaha pada perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) yang pesat dan masif. Namun, bentuk digitalisasi usaha makanan cepat saji tidak membuat usaha bisa berdiri tanpa lokasi yang strategis. Lokasi yang menguntungkan tetap menjadi perhatian para pelaku usaha makanan cepat saji dengan layanan pesan-antar dan/atau lantatur, bentuk usaha ini dikenal sebagai Online Food Merchant. (OFM) Aglomerasi merupakan salah satu fenomena spasial yang sangat menguntungkan bagi pelaku usaha karena dapat meningkatkan keefektifan dan kemudahan usaha/industri dalam hal sumber daya. Di sisi lain, aglomerasi yang tidak terkendali dapat menyebabkan perubahan bentuk kota yang tidak diinginkan, contohnya percepatan penjalaran kota. Penelitian ini berfokus untuk mengidentifikasi pola aglomerasi fasilitas OFM dan faktor-faktor spasial yang memengaruhinya di Kota Bandung. Data yang dipakai dalam penelitian ini kebanyakan diakuisisi melalui Google My Maps dan Web Scraping Google Maps. Penelitian ini melihat dua bentuk kuantifikasi aglomerasi, yaitu Agglomeration Index (AI) dan Facility Densities (FD) dengan skala penelitian pada tingkat kelurahan dan juga mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhinya menggunakan analisis Geographically Weighted Regression (GWR) pada grid 250x250 meter. Studi ini menemukan bahwa fasilitas OFM di Kota Bandung tidak hanya beraglomerasi di tengah kota namun juga di pinggiran kota. Variabel signifikan dalam menjelaskan aglomerasi dalam metode AI dan FD memiliki kesamaan yaitu, aksesibilitas transportasi, Road Network Density, populasi, dan jumlah fasilitas publik di sekitar. Namun, pada metode FD, intensitas Nighttime Light menjadi variabel yang signifikan sedangkan di metode AI tidak. Selain itu, model yang dihasilkan metode FD memiliki koefisien determinasi 31% dalam analisis GWR, sedangkan model yang dihasilkan metode AI hanya memiliki koefisien determinasi 23%. Hal ini mengindikasikan bahwa model yang dihasilkan metode FD lebih menjelaskan faktor-faktor aglomerasi OFM daripada model yang dihasilkan metode AI. Penelitian ini dapat menjadi masukan bagi pemangku kepentingan perencanaan, khususnya pemerintah Kota Bandung dalam memperhatikan dan mengendalikan aglomerasi fasilitas yang terjadi di perkotaan agar tidak menjadi kerugian di masa yang akan datang.