Pertumbuhan suatu kota dan pertumbuhan penduduk saling berkaitan erat
sehingga berimplikasi pada kebutuhan ruang untuk bertempat tinggal yang
semakin meningkat. Sulitnya mencari lahan di perkotaan dengan harga yang
terjangkau sehingga mendorong masyarakat untuk melakukan pengembangan
lahan secara informal. Hal tersebut dilakukan karena mudah diakses, kosong, dan
memiliki harga yang terjangkau. Pengembangan lahan informal dapat berupa
menempati tanah yang bukan milik sendiri atau berada di di lokasi illegal,
mendirikan bangunan yang tidak sesuai standar, dan cenderung berada di kawasan
kumuh. Penggunaan lahan informal juga dapat dikaitkan dengan ketidakmampuan
pemerintah untuk menyediakan perumahan yang terjangkau bagi keluarga
berpenghasilan rendah. Salah satu pengembangan lahan informal, yakni tanah
timbul. Jika dimanfaatkan secara baik, tanah timbul dapat memberikan
keuntungan secara ekonomis dengan menjadi cadangan lahan di masa yang akan
datang. Tetapi, dapat menyebabkan masalah pula jika penanganan tanah timbul ini
tidak tepat. Salah satu daerah yang memiliki tanah timbul yang cukup luas adalah
Kota Cirebon yang terletak di Pesisir Utara Provinsi Jawa Barat. Proses
pengembangan lahan pada tanah timbul di Kota Cirebon terus menerus dilakukan
karena belum ada kebijakan mengenai hal tersebut. Luas administrasi Kota
Cirebon mengalami perluasan akibat adanya tanah timbul, terutama di Kecamatan
Lemahwungkuk. Tanah timbul di Kota Cirebon dikuasai oleh masyarakat tanpa
adanya izin kepemilikan yang sah dan izin pembangunan. Penelitian ini bertujuan
untuk menjelaskan proses pengembangan lahan pada tanah timbul di Pesisir Kota
Cirebon yang berfokus pada proses maupun aktor yang terlibat. Untuk menjawab
tujuan tersebut, penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif melalui
teknik pengumpulan data primer yakni wawancara dan dianalisis menggunakan
metode analisis kualitatif. Dengan demikian, hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberikan manfaat akademis dalam keilmuan Perencanaan Wilayah dan Kota,
khususnya terkait pengaplikasian event-sequence models dan agency modelsii
dalam konteks pengembangan lahan informal pada tanah timbul. Selain itu, hasil
penelitian ini dapat menjadi masukan terhadap penanganan permasalahan tanah
timbul sehingga dapat memutuskan suatu kebijakan/langkah penanganan tanah
timbul di masa mendatang.
Berdasarkan hasil penelitian, tanah timbul di Pesisir Kota Cirebon dimanfaatkan
sebagai tempat bermukim bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Tanah
timbul pada lokasi studi dapat digolongkan menjadi tiga tipe melalui empat proses
pengembangan lahan, yakni proses mendapatkan lahan, proses konstruksi, proses
legalisasi, dan proses menyalurkan (jual-beli atau sewa-menyewa). Tipe 1
merupakan tanah timbul yang terjadi secara alami, tipe 2 tanah timbul yang
dipercepat pembentukannya oleh manusia, sedangkan tipe 3 tanah timbul berada
di sempadan sungai. Proses pembentukan tanah timbul memakan waktu yang
lama sebab memerlukan pengurugan dengan sampah dan berangkal atau material
bekas konstruksi bangunan. Proses mendapatkan lahan dilakukan secara informal,
yakni dengan mengakuisisi tanah timbul yang merupakan milik negara. Adapun
aktor yang terlibat seperti masyarakat yang mematok atau mengakuisisi tanah
timbul bertindak sebagai occupiers dan masyarakat yang membeli atau mencari
tanah timbul bertindak sebagai land buyer. Proses konstruksi juga dilakukan
secara informal dengan melakukan pembangunan tanpa izin dan menggunakan
pembiayaan informal. Proses legalisasi dapat ditunjukan dengan bukti
kepemilikan yang dimiliki oleh masyarakat berupa surat izin menggarap (SIM)
atau surat hak garap atau surat sejenisnya. Penerbitan surat ini melibatkan aktor
seperti pemerintahan setingkat RT, RW, dan kelurahan. Begitu juga dengan
proses menyalurkan (jual-beli atau sewa-menyewa) yang dilakukan secara
informal, yakni dengan cara tradisional dengan tidak melibatkan teknologi atau
platform pemasaran online atau digital. Masyarakat melakukan proses ini secara
lisan atau dari mulut ke mulut.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pengembangan lahan tanah timbul di
Pesisir Kota Cirebon dilakukan secara informal, walaupun dalam proses
konstruksi tidak dibangun dari bahan yang tersedia, seperti kotak kemasan, tong
ikan, kardus karton, kayu, kaleng, jerami dan bahkan koran, melainkan
menggunakan bahan yang lazim digunakan seperti seperti batu bata atau batako,
semen, batu kali, dan sebagainya. Penelitian ini juga belum dapat memperlihatkan
hubungan antara perilaku pengembangan lahan dengan keadaan sosial ekonomi
pada lokasi studi serta menjelaskan konteks dan keadaan eksternal yang
menyebabkan terjadinya pengembangan lahan di tanah timbul.