digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Pertumbuhan suatu kota dan pertumbuhan penduduk saling berkaitan erat sehingga berimplikasi pada kebutuhan ruang untuk bertempat tinggal yang semakin meningkat. Sulitnya mencari lahan di perkotaan dengan harga yang terjangkau sehingga mendorong masyarakat untuk melakukan pengembangan lahan secara informal. Hal tersebut dilakukan karena mudah diakses, kosong, dan memiliki harga yang terjangkau. Pengembangan lahan informal dapat berupa menempati tanah yang bukan milik sendiri atau berada di di lokasi illegal, mendirikan bangunan yang tidak sesuai standar, dan cenderung berada di kawasan kumuh. Penggunaan lahan informal juga dapat dikaitkan dengan ketidakmampuan pemerintah untuk menyediakan perumahan yang terjangkau bagi keluarga berpenghasilan rendah. Salah satu pengembangan lahan informal, yakni tanah timbul. Jika dimanfaatkan secara baik, tanah timbul dapat memberikan keuntungan secara ekonomis dengan menjadi cadangan lahan di masa yang akan datang. Tetapi, dapat menyebabkan masalah pula jika penanganan tanah timbul ini tidak tepat. Salah satu daerah yang memiliki tanah timbul yang cukup luas adalah Kota Cirebon yang terletak di Pesisir Utara Provinsi Jawa Barat. Proses pengembangan lahan pada tanah timbul di Kota Cirebon terus menerus dilakukan karena belum ada kebijakan mengenai hal tersebut. Luas administrasi Kota Cirebon mengalami perluasan akibat adanya tanah timbul, terutama di Kecamatan Lemahwungkuk. Tanah timbul di Kota Cirebon dikuasai oleh masyarakat tanpa adanya izin kepemilikan yang sah dan izin pembangunan. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan proses pengembangan lahan pada tanah timbul di Pesisir Kota Cirebon yang berfokus pada proses maupun aktor yang terlibat. Untuk menjawab tujuan tersebut, penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif melalui teknik pengumpulan data primer yakni wawancara dan dianalisis menggunakan metode analisis kualitatif. Dengan demikian, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat akademis dalam keilmuan Perencanaan Wilayah dan Kota, khususnya terkait pengaplikasian event-sequence models dan agency modelsii dalam konteks pengembangan lahan informal pada tanah timbul. Selain itu, hasil penelitian ini dapat menjadi masukan terhadap penanganan permasalahan tanah timbul sehingga dapat memutuskan suatu kebijakan/langkah penanganan tanah timbul di masa mendatang. Berdasarkan hasil penelitian, tanah timbul di Pesisir Kota Cirebon dimanfaatkan sebagai tempat bermukim bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Tanah timbul pada lokasi studi dapat digolongkan menjadi tiga tipe melalui empat proses pengembangan lahan, yakni proses mendapatkan lahan, proses konstruksi, proses legalisasi, dan proses menyalurkan (jual-beli atau sewa-menyewa). Tipe 1 merupakan tanah timbul yang terjadi secara alami, tipe 2 tanah timbul yang dipercepat pembentukannya oleh manusia, sedangkan tipe 3 tanah timbul berada di sempadan sungai. Proses pembentukan tanah timbul memakan waktu yang lama sebab memerlukan pengurugan dengan sampah dan berangkal atau material bekas konstruksi bangunan. Proses mendapatkan lahan dilakukan secara informal, yakni dengan mengakuisisi tanah timbul yang merupakan milik negara. Adapun aktor yang terlibat seperti masyarakat yang mematok atau mengakuisisi tanah timbul bertindak sebagai occupiers dan masyarakat yang membeli atau mencari tanah timbul bertindak sebagai land buyer. Proses konstruksi juga dilakukan secara informal dengan melakukan pembangunan tanpa izin dan menggunakan pembiayaan informal. Proses legalisasi dapat ditunjukan dengan bukti kepemilikan yang dimiliki oleh masyarakat berupa surat izin menggarap (SIM) atau surat hak garap atau surat sejenisnya. Penerbitan surat ini melibatkan aktor seperti pemerintahan setingkat RT, RW, dan kelurahan. Begitu juga dengan proses menyalurkan (jual-beli atau sewa-menyewa) yang dilakukan secara informal, yakni dengan cara tradisional dengan tidak melibatkan teknologi atau platform pemasaran online atau digital. Masyarakat melakukan proses ini secara lisan atau dari mulut ke mulut. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pengembangan lahan tanah timbul di Pesisir Kota Cirebon dilakukan secara informal, walaupun dalam proses konstruksi tidak dibangun dari bahan yang tersedia, seperti kotak kemasan, tong ikan, kardus karton, kayu, kaleng, jerami dan bahkan koran, melainkan menggunakan bahan yang lazim digunakan seperti seperti batu bata atau batako, semen, batu kali, dan sebagainya. Penelitian ini juga belum dapat memperlihatkan hubungan antara perilaku pengembangan lahan dengan keadaan sosial ekonomi pada lokasi studi serta menjelaskan konteks dan keadaan eksternal yang menyebabkan terjadinya pengembangan lahan di tanah timbul.