digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Abstrak.pdf
PUBLIC Dedi Rosadi

cover.pdf
PUBLIC Dedi Rosadi

BAB I Pendahuluan.pdf
PUBLIC Dedi Rosadi




BAB V Kesimpulan.pdf
PUBLIC Dedi Rosadi

Daftar Pustaka.pdf
PUBLIC Dedi Rosadi

lampiran.pdf
PUBLIC Dedi Rosadi

Paleoklimatologi dan paleo-oseanografi menjadi topik hangat dalam dunia sains kebumian akibat isu pemanasan global. Foraminifera merupakan mikrofauna yang sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan sehingga banyak digunakan sebagai proksi dalam rekonstruksi paleoklimatologi dan paleo-oseanografi. Pada penelitian ini akan dilakukan rekonstruksi paleoklimatologi dan paleo-oseanografi sejak Pleistosen Akhir (18.255 BP) berdasarkan kumpulan foraminifera dengan ditunjang analisis sedimentologi dan kandungan unsur. Perairan barat daya Sumba berada di bagian tenggara Kepulauan Indonesia dan kondisi iklimnya sangat dipengaruhi oleh pergantian muson barat laut – muson tenggara. Wilayah ini juga dipengaruhi oleh Indonesian Through Flow (ITF) karena berada di dekat salah satu pintu keluarnya yaitu Selat Ombai – Laut Sawu. Muson tenggara berasosiasi dengan menguatnya ITF (pendangkalan termoklin), sedangkan muson barat laut berhubungan dengan melemahnya ITF (pendalaman termoklin). Hasil analisis constrained clustering menunjukkan 17 cluster dengan distribusi foraminifera yang memperlihatkan fluktuasi kondisi iklim dan air laut sedangkan dari analisis Modern Analogue Technique (MAT) diperoleh suhu permukaan laut (Sea Surface Temperature/SST). Secara umum distribusi foraminifera menunjukkan kondisi dengan suhu relatif dingin dan pendangkalan termoklin selama Pleistosen sedangkan Holosen ditandai dengan suhu relatif hangat dan pendalaman termoklin. Dari hasil tersebut dan dengan didukung data perbandingan kandungan unsur (Ti/Ca, Fe/Ca, Rb/Ca, Rb/Sr, dan Rb/K) yang mencerminkan tingkat curah hujan serta data karakteristik besar butir dapat dibuat rekonstruksi paleoklimatologi dan paleo-oseanografi daerah peneltian. Rekonstruksi tersebut menghasilkan 11 periode yaitu Periode 1 (>18.255 BP; akhir Last Glacial Maximum/LGM), Periode 2 (16.284 – 16.003 BP; Oldest Dryas), Periode 3 (16.003 – 13.752 BP; Bolling), Periode 4 (13.752 – 13.330 BP; Older Dryas), Periode 5 (13.330 – 11.824 BP; Allerod dan lalu Younger Dryas), Periode 6 (11.824 – 11.178 BP, transisi Pleistosen – Holosen), Periode 7 (11.178 – 7.305 BP; Preboreal – Boreal), Periode 8 (7.305 – 6.660 BP; Tropical Cooling), Periode 9 (6.660 – 4.867 BP; Holocene Maximum/HM), Periode 10 (4867 – 3.087 BP; Subboreal), dan Periode 11 (3.087 – 0 BP; Subatlantic termasuk Medieval Warm/MW dan Little Ice Age/LIA). Hasil rekonstruksi paleoklimatologi dan paleo-oseanografi menunjukkan peran pergantian muson barat laut – muson tenggara dan ITF dalam mempengaruhi kondisi iklim dan air laut di daerah penelitian. Selama Pleistosen intensitas muson tenggara cenderung kuat dan memicu peningkatan intensitas ITF sehingga menghasilkan kondisi yang dingin-kering dengan kedalaman termoklin relatif rendah yang meningkatkan produktivitas. Memasuki Holosen intensitas muson barat laut menjadi lebih kuat sehingga tercipta kondisi hangat-lembab dengan termoklin mendalam. Kondisi ini sempat terganggu oleh Tropical Cooling dan kondisi cenderung mengering (curah hujan menurun) selama Periode 9 (HM). Setelah HM terjadi pendinginan suhu dan pendangkalan termoklin secara gradual dengan curah hujan meningkat yang menunjukkan reverse trend pada muson barat laut.