digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Sistem irigasi berbasis masyarakat merupakan bentuk infrastruktur penunjang ketahanan pangan atau pertanian yang penyaluran airnya dilakukan melalui saluran irigasi dengan melibatkan masyarakat dalam perencanaan, pengelolaan, operasionalisasi, perawatan, dan rehabilitasi. Saat ini, salah satu isu permasalahan irigasi adalah keberlanjutan sehingga perlu untuk mengetahui variabel yang dapat digunakan dalam menilai tingkat keberlanjutannya. Studi ini bertujuan untuk mengidentifikasi kriteria dan indikator keberlanjutan irigasi, mengidentifikasi nilai tiap kriteria dan indikator tersebut, kemudian mengidentifikasi tingkat keberlanjutan irigasi pada lima daerah irigasi studi kasus. Pendekatan studi adalah mix method dengan metode analisis deskriptif kuantitatif dan kualitatif, Analytical Hierarchy Process (AHP), serta analisis skoring. Studi ini menunjukkan bahwa terdapat tiga kriteria dan 13 indikator dalam penilaian tingkat keberlanjutan irigasi yaitu enam indikator pada kriteria ekonomi, lima indikator pada kriteria sosial, dan dua indikator pada kriteria lingkungan. Lebih lanjut, menurut pendapat pakar kriteria paling utama dalam penilaian tingkat keberlanjutan irigasi adalah kriteria lingkungan dengan indikator paling berpengaruh ialah ketersediaan dan efisiensi air, kriteria ekonomi menempati peringkat kedua sebagai kriteria pendukung dan begitupun dengan kriteria sosial sebagai peringkat ketiga. Berdasarkan hasil penilaian daerah irigasi yang paling tinggi tingkat keberlanjutannya ialah Daerah Irigasi Daoe sebab persentase ketersediaan airnya mencapai 90% sehingga tidak memerlukan lagi bantuan peralatan dalam penyediaan air serta didukung pula dengan kualitas air yang baik. Daerah irigasi dengan posisi tingkat keberlanjutan kedua ialah Daerah Irigasi Teppo Kessi, posisi ketiga adalah Daerah Irigasi Lajaroko, posisi keempat adalah Daerah Irigasi Tarennuang, dan posisi kelima adalah Daerah Irigasi Lompulle. Keempat daerah irigasi tersebut memiliki persentase ketersediaan air hanya berkisar antara 70%-75% dan masih memerlukan bantuan pompa dalam penyediaan airnya. Studi ini menawarkan rekomendasi kepada pemerintah untuk memaksimalkan ketersediaan air; merencanakan pembangunan bendungan, bendung, waduk, dan embung sebagai tempat penyimpanan cadangan air irigasi; menyusun kebijakan terkait kerja sama pendanaan pertanian dan bantuan modal petani dengan pihak swasta; bertanggung jawab dalam melakukan koordinasi dan pembagian tugas atau kewenangan yang jelas antar pemerintah kabupaten, provinsi, dan pusat dalamii pengawasan saluran irigasi; membentuk lembaga pengelola irigasi dilengkapi dengan aturan dan sanksi pada daerah yang belum memiliki kelompok P3A, menetapkan regulasi terhadap rata-rata harga jual padi atau gabah, pupuk, dan pestisida di pasaran; menetapkan jadwal rutin dengan musyawarah antar P3A, kelompok tani, dan pemerintah untuk kegiatan perawatan, pembersihan, dan pemeliharaan pada seluruh daerah irigasi; serta perlunya mengembangkan sumber daya petani dan penerapan inovasi teknologi dalam upaya penghematan juga konservasi air.