digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Setelah mengalami krisis pada tahun 1997, pemerintah Indonesia menyadari bahwa struktur permodalan yang lebih kuat dibutuhkan untuk mencegah kebangkrutan di masa mendatang. Sebagai salah satu program yang telah dibentuk Arsitektur Perbankan Indonesia (API) untuk membangun industri perbankan, Single Presence Policy (SPP) diberlakukan. Bertujuan tidak hanya untuk mengontrol bank secara lebih ketat namun juga mencegah kebangkrutan dengan memperkuat struktur permodalan. Ada beberapa cara, yaitu: merger, konsolidasi, atau mendirikan perusahaan induk. Namun, tidak semua bank mematuhi peraturan tersebut, maka dari itu dibutuhkan pembuktian bahwa mematuhi SPP akan menghasilkan kinerja yang lebih baik. Objek penelitian ini adalah Bank CIMB Niaga, salah satu bank terbesar di Indonesia secara jumlah aset. Data didapatkan dari situs OJK dari tahun 2002-2007 (sebelum merger) dan 2009-2014 (sesudah merger) perbulan. Setelah itu, data akan dihitung menggunakan rasio Risk Based Bank Rating (RBBR), sebuah metode yang dikembangkan oleh Bank Indonesia untuk mengukur tingkat kesehatan bank. Perhitungan rasio akan di tes menggunakan Shapiro-Wilk untuk mengetahui apakah data tersebut terdistribusi normal atau tidak. Kemudian adalah penggunaan Mann-Whitney U Test untuk menentukan perbedaan yang signifikan. Dengan teori yang telah dikumpulkan penulis, dia bisa menentukan rasio apa saja yang memberikan dampak positif pada kinerja. Secara mean, hanya 5 dari 13 rasio yang dikategorisasi lebih buruk setelah merger. Namun demikian bisa dianggap hanya mengalami sedikit penurunan dan tidak akan mempengaruhi bank secara besar. Kemudian, 6 rasio (Net Interest, Core ROA, Tier 1, Adversely, NPL, dan LFR) dianggap tidak terdistribusi normal dan hanya 6 rasio (Operational, Core ROA, Tier 1, Adversely, NPL, LFR) yang mempunyai perbedaan yang signifikan. Kesimpulannya, berdasarkan penelitian ini, CIMB Niaga mengalami kinerja yang positif setelah merger dan hanya di beberapa bagian saja yang mengalami penurunan. Untuk menggarisbawahi hasil ini, hampir seluruh rasio yang mempunyai perbedaan yang signifikan mengalami kinerja yang positif, walaupun ada beberapa data yang diluar mempengaruhi hasilnya. Maka dari itu, Single Presence Policy, apabila telah di analisa secara hatihati, akan sangat menguntukan untuk bank tidak hanya dalam permodalan namun keseluruhan kinerja. Penulis merekomendasikan agar Bank Indoensia harus memastikan bank untuk mematuhi Single Presence Policy karena apabila krisis yang serupa terjadi, maka bank tidak akan mengalami kebangkrutan akibat struktur permodalan yang lebih kuat. Lebih lagi, BI dapat mengontrol lebih ketat untuk mencegah kebangkrutan dan keharusan untuk melapor pada BI setiap semester. Yang terpenting adalah BI dan OJK harus terlilbat pada setiap proses merger, konsolidasi, dan pembentukan perusahaan induk sehingga transaksi tidak akan berujung pada kerugian kedua belah pihak.