Pemanasan global diduga akan melemahkan intensitas arus lintas Indonesia
(Arlindo), sehingga menyebabkan pengurangan transfer massa air panas dan tawar
dari Samudra Pasifik ke Samudra Hindia. Pelemahan intensitas Arlindo ini
berdampak pada melemahnya sirkulasi Walker dan memicu semakin intensifnya
kejadian fenomena iklim seperti El Niño di masa depan. Namun, terdapat gap
pengetahuan terkait sejarah pelemahan intensitas Arlindo karena terbatasnya data
observasi Arlindo di wilayah Indonesia, khususnya pada masa lampau dan dalam
kurun waktu yang panjang. Pada penelitian ini dilakukan studi paleoseanografi
menggunakan inti sedimen laut untuk mengatasi gap pengetahuan tersebut. Studi
paleoseanografi dilakukan di Selat Makassar yang merupakan pintu utama
masuknya massa air dari Samudra Pasifik ke Samudra Hindia. Penelitian ini
bertujuan untuk membuktikan terjadinya pelemahan intensitas Arlindo dan
mengetahui penyebabnya serta kaitannya dengan anomali suhu/salinitas permukaan
laut dan iklim di daratan saat terjadi pemanasan global ekstrem di masa lampau.
Studi ini difokuskan pada periode deglasiasi terakhir (19.000-11.000 tahun lalu/thl)
yang merupakan periode pemanasan global terakhir yang terjadi di bumi dengan
kenaikan suhu bumi hingga 5°C. Rekonstruksi pelemahan intensitas Arlindo dalam
penelitian ini menggunakan data X-Ray Fluorescence (XRF), isotop stabil
foraminifera bentonik, dan analisis mikropaleontologi di Selat Makassar dan Laut
Sulawesi. Selanjutnya, dianalisis pula kaitan pelemahan Arlindo terhadap
hidroklimat di daerah kajian berdasarkan data variabilitas suhu dan salinitas
permukaan laut, serta curah hujannya. Rekonstruksi suhu permukaan laut dilakukan
dengan menggunakan Mg/Ca Globigerinoides ruber, sedangkan proksi salinitas
permukaan laut atau ?18Osw diukur menggunakan pasangan Mg/Ca dan ?18O
Globigerinoides ruber. Analisis hidroklimat di lokasi penelitian dianalisis dengan
menggunakan hasil pemindaian XRF.
Pemanasan global pada deglasiasi terakhir di Selat Makassar dan Laut Sulawesi
ditunjukkan oleh kenaikan suhu permukaan laut (SPL) sebesar 3oC atau kenaikan
Mg/Ca sebesar ~ 1 mmol/mol. Pada saat pemanasan global terjadi pada deglasiasi
terakhir, pelemahan intensitas Arlindo terjadi pada Heinrich Stadial 1
(HS1)/18.000-15.000 thl dan Younger Dryas (YD)/12.900-11.500 thl. Selain itu,
pelemahan Arlindo juga terjadi pada periode Heinrich Stadial 4 (HS4)/40.000-
38.000 thl, Heinrich Stadial 3 (HS3)/30.000-27.800 thl, dan Heinrich Stadial 2
(HS2)/25.800-24.000 thl. Pelemahan intensitas Arlindo dibuktikan dari nilai
sortable silt dan log (Zr/Rb) yang rendah pada periode HS4, HS3, HS2, HS1, dan
YD di Selat Makassar dan Laut Sulawesi. Dampak dari pelemahan intensitas
Arlindo juga terlihat dari melemahnya tingkat resuspensi mineral lempung yang
ditunjukkan oleh kenaikan tren log (Al/Ca) dan log (K/Ca) di lokasi penelitian.
Suhu dan salinitas di wilayah Indonesia bagian tengah didominasi oleh SPL yang
menghangat 1-1,5oC (kenaikan Mg/Ca sebesar 0,4-0,6 mmol/mol) dan salinitas
yang tinggi sebesar 34-35,7 PSU (kenaikan ?18Osw sebesar 0,2-0,7 ‰) pada HS1
dan YD. Di dalam studi ini, rekonstruksi curah hujan di wilayah Laut Sulawesi
dilakukan untuk mengetahui karakteristik hidroklimat saat Arlindo melemah pada
deglasiasi terakhir berdasarkan normalisasi rasio log (K/Ti), log (Ti/Al) dan log
(K/Al). Karakteristik hidroklimat pada periode HS4, HS3, HS2, HS1 dan YD
memperlihatkan rasio log (K/Ti), log (K/Al), dan log (Ti/Al) yang rendah di lokasi
inti sedimen laut SO217-18522 menandakan berkurangnya transpor sedimen, erosi,
dan input lempung dari Sungai Berau. Berkurangnya transpor sedimen, erosi, dan
input lempung berkaitan dengan curah hujan rendah di sebagian besar wilayah
Kalimantan akibat perpindahan Intertropical Convergence Zone (ITCZ) ke arah
selatan.
Bukti-bukti melemahnya intensitas Arlindo berdasarkan log (Zr/Rb) dan kumpulan
foraminifera bentonik di Selat Makassar mendukung model penguatan Pacific
Meridional Overturning Circulation (PMOC) yang menyebabkan pelemahan
intensitas Arlindo pada deglasiasi terakhir. Penguatan PMOC menyebabkan
terbentuknya deep water pada HS1 dan YD di wilayah Samudra Pasifik bagian
utara. Dampak dari pembentukan deep water di wilayah PMOC ini adalah
terdapatnya aliran permukaan air laut hingga lapisan intermediate yang menyebar
lebih ke utara melalui Kuroshio Current di wilayah Samudra Pasifik. Massa air
yang besar di wilayah Kuroshio Current menyebabkan transpor Arlindo berkurang
pada deglasiasi terakhir. Pelemahan transpor Arlindo terbukti dari pengurangan
jumlah massa air North Pacific Intermediate Water (NPIW) yang didasari dari
berkurangnya genus Bulimina, Cibicidoides, dan spesies Cibicidoides mundulus di
Selat Makassar.
Dari hasil penelitian ini didapatkan penemuan baru seperti:
? Pelemahan intensitas Arlindo di Selat Makassar terjadi pada deglasiasi terakhir.
? Suhu dan salinitas dicirikan oleh SPL yang menghangat dan salinitas tinggi pada
skala waktu HS1 dan YD.
? Berkurangnya curah hujan berdasarkan proksi transpor sedimen, erosi, dan input
lempung pada HS1, dan YD.
? Penguatan PMOC yang menyebabkan pelemahan intensitas Arlindo pada
deglasiasi terakhir.