digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Pemanasan global diduga akan melemahkan intensitas arus lintas Indonesia (Arlindo), sehingga menyebabkan pengurangan transfer massa air panas dan tawar dari Samudra Pasifik ke Samudra Hindia. Pelemahan intensitas Arlindo ini berdampak pada melemahnya sirkulasi Walker dan memicu semakin intensifnya kejadian fenomena iklim seperti El Niño di masa depan. Namun, terdapat gap pengetahuan terkait sejarah pelemahan intensitas Arlindo karena terbatasnya data observasi Arlindo di wilayah Indonesia, khususnya pada masa lampau dan dalam kurun waktu yang panjang. Pada penelitian ini dilakukan studi paleoseanografi menggunakan inti sedimen laut untuk mengatasi gap pengetahuan tersebut. Studi paleoseanografi dilakukan di Selat Makassar yang merupakan pintu utama masuknya massa air dari Samudra Pasifik ke Samudra Hindia. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan terjadinya pelemahan intensitas Arlindo dan mengetahui penyebabnya serta kaitannya dengan anomali suhu/salinitas permukaan laut dan iklim di daratan saat terjadi pemanasan global ekstrem di masa lampau. Studi ini difokuskan pada periode deglasiasi terakhir (19.000-11.000 tahun lalu/thl) yang merupakan periode pemanasan global terakhir yang terjadi di bumi dengan kenaikan suhu bumi hingga 5°C. Rekonstruksi pelemahan intensitas Arlindo dalam penelitian ini menggunakan data X-Ray Fluorescence (XRF), isotop stabil foraminifera bentonik, dan analisis mikropaleontologi di Selat Makassar dan Laut Sulawesi. Selanjutnya, dianalisis pula kaitan pelemahan Arlindo terhadap hidroklimat di daerah kajian berdasarkan data variabilitas suhu dan salinitas permukaan laut, serta curah hujannya. Rekonstruksi suhu permukaan laut dilakukan dengan menggunakan Mg/Ca Globigerinoides ruber, sedangkan proksi salinitas permukaan laut atau ?18Osw diukur menggunakan pasangan Mg/Ca dan ?18O Globigerinoides ruber. Analisis hidroklimat di lokasi penelitian dianalisis dengan menggunakan hasil pemindaian XRF. Pemanasan global pada deglasiasi terakhir di Selat Makassar dan Laut Sulawesi ditunjukkan oleh kenaikan suhu permukaan laut (SPL) sebesar 3oC atau kenaikan Mg/Ca sebesar ~ 1 mmol/mol. Pada saat pemanasan global terjadi pada deglasiasi terakhir, pelemahan intensitas Arlindo terjadi pada Heinrich Stadial 1 (HS1)/18.000-15.000 thl dan Younger Dryas (YD)/12.900-11.500 thl. Selain itu, pelemahan Arlindo juga terjadi pada periode Heinrich Stadial 4 (HS4)/40.000- 38.000 thl, Heinrich Stadial 3 (HS3)/30.000-27.800 thl, dan Heinrich Stadial 2 (HS2)/25.800-24.000 thl. Pelemahan intensitas Arlindo dibuktikan dari nilai sortable silt dan log (Zr/Rb) yang rendah pada periode HS4, HS3, HS2, HS1, dan YD di Selat Makassar dan Laut Sulawesi. Dampak dari pelemahan intensitas Arlindo juga terlihat dari melemahnya tingkat resuspensi mineral lempung yang ditunjukkan oleh kenaikan tren log (Al/Ca) dan log (K/Ca) di lokasi penelitian. Suhu dan salinitas di wilayah Indonesia bagian tengah didominasi oleh SPL yang menghangat 1-1,5oC (kenaikan Mg/Ca sebesar 0,4-0,6 mmol/mol) dan salinitas yang tinggi sebesar 34-35,7 PSU (kenaikan ?18Osw sebesar 0,2-0,7 ‰) pada HS1 dan YD. Di dalam studi ini, rekonstruksi curah hujan di wilayah Laut Sulawesi dilakukan untuk mengetahui karakteristik hidroklimat saat Arlindo melemah pada deglasiasi terakhir berdasarkan normalisasi rasio log (K/Ti), log (Ti/Al) dan log (K/Al). Karakteristik hidroklimat pada periode HS4, HS3, HS2, HS1 dan YD memperlihatkan rasio log (K/Ti), log (K/Al), dan log (Ti/Al) yang rendah di lokasi inti sedimen laut SO217-18522 menandakan berkurangnya transpor sedimen, erosi, dan input lempung dari Sungai Berau. Berkurangnya transpor sedimen, erosi, dan input lempung berkaitan dengan curah hujan rendah di sebagian besar wilayah Kalimantan akibat perpindahan Intertropical Convergence Zone (ITCZ) ke arah selatan. Bukti-bukti melemahnya intensitas Arlindo berdasarkan log (Zr/Rb) dan kumpulan foraminifera bentonik di Selat Makassar mendukung model penguatan Pacific Meridional Overturning Circulation (PMOC) yang menyebabkan pelemahan intensitas Arlindo pada deglasiasi terakhir. Penguatan PMOC menyebabkan terbentuknya deep water pada HS1 dan YD di wilayah Samudra Pasifik bagian utara. Dampak dari pembentukan deep water di wilayah PMOC ini adalah terdapatnya aliran permukaan air laut hingga lapisan intermediate yang menyebar lebih ke utara melalui Kuroshio Current di wilayah Samudra Pasifik. Massa air yang besar di wilayah Kuroshio Current menyebabkan transpor Arlindo berkurang pada deglasiasi terakhir. Pelemahan transpor Arlindo terbukti dari pengurangan jumlah massa air North Pacific Intermediate Water (NPIW) yang didasari dari berkurangnya genus Bulimina, Cibicidoides, dan spesies Cibicidoides mundulus di Selat Makassar. Dari hasil penelitian ini didapatkan penemuan baru seperti: ? Pelemahan intensitas Arlindo di Selat Makassar terjadi pada deglasiasi terakhir. ? Suhu dan salinitas dicirikan oleh SPL yang menghangat dan salinitas tinggi pada skala waktu HS1 dan YD. ? Berkurangnya curah hujan berdasarkan proksi transpor sedimen, erosi, dan input lempung pada HS1, dan YD. ? Penguatan PMOC yang menyebabkan pelemahan intensitas Arlindo pada deglasiasi terakhir.