Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) adalah penyakit tidak menular yang
menjadi salah satu masalah kesehatan dunia, ditandai dengan gejala pernapasan
yang persisten dan keterbatasan aliran udara serta dipengaruhi oleh perkembangan
fungsi paru yang abnormal. Dari empat negara di Asia, pasien PPOK di Indonesia
memiliki karakteristik klinis yang buruk dengan nilai fungsi paru terburuk, nilai
gejala PPOK terburuk kedua, angka eksaserbasi per tahun tertinggi dan pengguna
regimen obat untuk PPOK dengan tingkat keparahan akhir tertinggi. Hal tersebut
menunjukkan rendahnya keberhasilan terapi pada pasien PPOK di Indonesia.
Beberapa faktor dan karakteristik pasien mempengaruhi outcome klinis sebagai
penentu keberhasilan terapi. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh faktor
yang berpengaruh dan seberapa besar pengaruhnya terhadap keberhasilan terapi
pasien PPOK melalui korelasi antara faktor dan karakteristik pasien dengan
outcome klinis. Penelitian ini menggunakan desain deskriptif-observasional dengan
rancangan cross sectional yang melibatkan 74 subjek penelitian. Penentuan
minimal subjek penelitian menggunakan Raosoft Sample Size Calculator. Subjek
pada penelitian ini diperoleh melalui purposive sampling dengan melibatkan pasien
PPOK di poli paru rawat jalan di RSPAD Gatot Soebroto Jakarta yang memenuhi
kriteria inklusi yaitu dalam keadaan PPOK stabil, minimal diagnosis PPOK 1 tahun,
memiliki rekam medis yang dapat diakses dan setuju dengan inform concent serta
mengisi kuesioner dengan lengkap. Kuesioner yang digunakan pada penelitian telah
diuji validitas dan reliabilitasnya dengan nilai p value<0,05 dan Cronbach alpha
?0,6. Pengumpulan data dilakukan secara kualitatif melalui observasi dan
wawancara dengan pengisian formulir dan kuesioner dilengkapi dengan data
sekunder berupa data rekam medis. Analisis data dilakukan secara kuantitatif
terhadap variabel bebas dan variabel terikat dengan analisis statistik univariat
melalui uji deskriptif, sedangkan analisis bivariat dan multivariat melalui uji
korelasi dan regresi logistik menggunakan aplikasi Minitab. Variabel bebas pada
penelitian ini berupa data demografi pasien, riwayat pajanan, riwayat konusmsi
alkohol, NAPZA dan Drug Induced Interstitial Lung Disease (DIILD), riwayat
merokok, komorbiditas dan riwayat penyakit, profil pengobatan pasien serta
kepatuhan pengobatan (Medical Adherence Rating Scale-5/MARS-5) dan
ketepatan penggunaan inhaler. Sedangkan variabel terikat berupa outcome klinis
ii
yaitu nilai COPD Assessment Test (CAT), nilai modified Medical Research Council
Dyspnea Scale (mMRC), frekuensi eksaserbasi per tahun, keparahan elsaserbasi,
riwayat hospitalisasi per tahun dan keparahan PPOK saat ini dengan Grade ABCD.
Hasil penelitian menunjukkan komorbiditas tumor/kanker merupakan faktor yang
paling mempengaruhi perburukan nilai CAT (p=0,049, OR=10,89, 95%CI=1,01-
117,23). Penggunaan obat ICS/LABA paling mempengaruhi secara signifikan
terhadap perbaikan nilai mMRC (p=0,024 OR=0,26, 95%CI=0,08-0,84). Riwayat
penyakit TBC paling mempengaruhi peningkatan keparahan eksaserbasi (p=0,045,
OR=7,25, 95%CI=1,05-50,23), sedangkan usia mulai merokok lebih dari 20 tahun
paling mempengaruhi penurunan keparahan eksaserbasi (OR=0,03, 95%CI=0,002-
0,61, p=0,022). Riwayat penggunaan alkohol (OR=7,26 dan 167,56, p=0,014 dan
0,004) dan komorbid pneumonia (OR=28,14 dan 44,25, p=0,035 dan 0,014) paling
mempengaruhi peningkatkan frekuensi eksaserbasi dan hospitalisasi per tahun.
Sedamgkan tatus ekonomi Sedang mempengaruhi penurunan hospitalisasi per
tahun (OR=0,06, 95%CI=0,00-0,91, p=0,043). Parahnya diagnosis PPOK dan
riwayat konsumsi alkohol mempengaruhi penurunan keparahan PPOK saat ini
(Grade ABCD) (OR=0,12 dan 0,24, p=0,039-0,009). Faktor-faktor yang paling
mempengaruhi outcome klinis tersebut perlu diperhatikan terkait tercapainya
keberhasilan terapi pasien PPOK yang dapat menentukan pemilihan obat maupun
penambahan terapi lainnya. Penelitian ini memiliki limitasi terkait keterbatasan
jumlah subjek dan kondisi Covid-19 yang tidak memungkinkan pengukuran
spirometri sebagai salah satu outcome klinis, sehingga penelitian secara multisenter
dan pemeriksaan VEP1 disarankan pada penelitian selanjutnya.