Adopsi kendaraan listrik (EV) dan pengembangan infrastruktur pendukung merupakan salah satu langkah utama pemerintah untuk menghilangkan ketergantungan pada mesin pembakaran internal (ICE) dan secara substansial mengurangi emisi karbon dioksida (CO2) dari sektor transportasi. EV akan mengurangi ketergantungan negara pada minyak mentah impor, meningkatkan neraca perdagangan dan ketahanan energi nasional, serta mengurangi biaya subsidi bahan bakar fosil ke anggaran negara. Sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB) untuk mobilitas jalan raya, Kementerian Perindustrian Republik Indonesia menetapkan target penggunaan kendaraan bermotor listrik bertenaga baterai sebesar 20% pada tahun 2025. Selain memberikan insentif dan pegembangan infrastruktur pengisian kendaraan listrik, program KBLBB juga mengatur tarif listrik, persyaratan teknis, dan pada akhirnya pelestarian lingkungan. Pemerintah berharap tumbuhnya industri otomotif ramah lingkungan di kawasan ini dapat mendukung target penurunan emisi karbon. Dengan demikian, industri transportasi dapat memimpin transisi dengan mengembangkan kendaraan listrik dan ekosistem ramah lingkungan.
Toyota Indonesia berkomitmen untuk membantu target pemerintah dalam pengurangan emisi CO2 dengan efektif melalui strategi multi jalur yang melibatkan teknologi otomotif dan elektrifikasi. Seperti yang tertuang dalam "Toyota Environmental Challenge" mengenai "zero" emisi CO2 pada kendaraan baru masa depan, Toyota Indonesia menawarkan berbagai kendaraan listrik, antara lain "Hybrid Electric Vehicle" (HEV), "Plug-in Hybrid Electric Vehicle" (PHEV), dan "Battery Electric Vehicle" (BEV) di pasar Indonesia. Menurut Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (GAIKINDO), Toyota mendominasi industri otomotif Indonesia dengan pangsa 31% dari penjualan mobil nasional. Meski demikian, penjualan kendaraan listrik Toyota di tanah air masih relatif kecil, yakni mencapai sekitar 6,600 unit sejak kendaraan listrik Toyota diperkenalkan di Indonesia. Kontribusi penjualan domestik Toyota ke industri EV ini masih jauh di bawah target pemerintah sebesar 20% elektrifikasi pada tahun 2025 yang membutuhkan sekitar 400,000 unit untuk dijual di dalam negeri oleh semua produsen mobil.
Kendaraan listrik hibrida (HEV) menggabungkan mesin pembakaran internal (ICE) dengan motor listrik (EV), secara otomatis memilih sumber daya yang sesuai dan mengintegrasikannya. Mode ini memadukan keunggulan motor listrik nol emisi dan mesin konvensional hemat bahan bakar untuk mengantisipasi keterbatasan infrastruktur pengisian baterai mobil listrik. HEV lebih mumpuni dalam berbagai skenario dan kondisi jalan karena tidak mengandalkan kapasitas baterai. Selain itu, HEV mudah dioperasikan dan memiliki biaya pengoperasian yang cukup moderat. Di antara semua bentuk kendaraan listrik (EV) di Indonesia, "Battery Electric Vehicle" (BEV) adalah satu-satunya yang mendapat insentif kebijakan paling menguntungkan dari pemerintah. Saat ini, HEV memiliki keunggulan yang lebih sedikit dibandingkan kendaraan listrik lainnya. Mengapa tidak memberikan manfaat yang sama kepada HEV jika tujuan akhirnya adalah mengurangi emisi nasional? Mengingat HEV adalah bentuk kendaraan listrik yang lebih terjangkau dan paling awal. Bahkan selain itu, tidak seperti BEV, HEV tidak memerlukan infrastruktur. Maka dari itu peningkatan sirkulasi EV di Indonesia dapat dibantu dengan kebijakan HEV yang lebih menguntungkan.
Secara keseluruhan, tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis preferensi pelanggan tentang HEV. Untuk menyukseskan program elektrifikasi kendaraan, kita harus mempertimbangkan mulai dari sudut pandang pelanggan, di mana pengalaman berkendara pelanggan menjadi faktor kunci utamanya. Saat pelanggan memutuskan untuk menggunakan dan membeli kendaraan listrik, atribut apa yang akan memengaruhi keputusan mereka? Selain itu, perlu ditentukan apakah program pemerintah yang ada untuk mendorong peredaran kendaraan listrik di Indonesia efektif atau tidak. Penelitian ini akan berkonsentrasi pada pemahaman masalah preferensi pelanggan yang akan diperlukan untuk strategi masa depan. Dengan menggunakan pendekatan analisis konjoin, penelitian ini bertujuan untuk menentukan kombinasi atribut HEV yang paling disukai. Penelitian ini menilai apakah berbagai atribut, seperti (1) harga kendaraan, (2) jarak tempuh berkendara, (3) tingkat konsumsi bahan bakar, (4) tingkat emisi, dan (5) kebijakan HEV, memiliki pengaruh paling besar terhadap keputusan pembelian. Analisis gabungan dan desain survei berbasis pilihan digunakan untuk menentukan preferensi responden terhadap HEV. Hasil penelitian menunjukkan bahwa harga merupakan atribut yang paling mempengaruhi keputusan pembelian responden (40%), diikuti oleh kebijakan pemerintah (22%), emisi (16%), konsumsi (14%), dan jarak tempuh berkendara (9%) adalah yang paling tidak disukai. Untuk mempromosikan adopsi kendaraan listrik di Indonesia, penting untuk mengkaji preferensi pelanggan dan kecukupan insentif pemerintah. Oleh karena itu, Toyota Indonesia harus melakukan analisis secara menyeluruh dan menyusun rencana aksi yang tepat untuk memproduksi kendaraan listrik yang sesuai dengan preferensi pelanggan, serta memastikan perusahaan dapat berkontribusi lebih besar terhadap target 20% kendaraan listrik pemerintah Indonesia pada tahun 2025.