digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Penanganan permukiman kumuh menjadi isu penting dalam pembangunan perkotaan, khususnya terkait persoalan legalitas lahan dan bangunan di dalamnya. Salah satu lokasi kampung di Jakarta yang teridentifikasi sebagai permukiman kumuh di atas tanah aset pemerintah, dan menjadi perhatian publik terkait dinamika penanganannya, adalah Kampung Akuarium. Terjadi pergeseran kebijakan penanganan permukiman kumuh di Kampung Akuarium antarperiode pemerintahan Gubernur DKI Jakarta, dari pola pemukiman kembali yang diiringi dengan praktik penertiban, menjadi pola peremajaan dengan konsep kampung susun. Pembangunan Kampung Susun Akuarium dilatarbelakangi adanya kontrak politik antara Gubernur Anies Baswedan dengan warga terdampak yang memilih bertahan di lokasi penertiban. Dinamika penanganan Kampung Akuarium sudah banyak dikaji dalam berbagai konteks penelitian. Namun penelitian yang ada belum membahas dampak kebijakan pembangunan kampung susun secara holistis dan komprehensif, dengan menggunakan sudut pandang Pemprov DKI Jakarta dan warga. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kelayakan penanganan permukiman kumuh di Kampung Akuarium, tidak semata-mata berdasarkan pengambilan keputusan secara politik, namun menggunakan kerangka analisis yang lebih formal dengan membandingkan biaya dan manfaat sosial yang dihasilkan, yang berfokus pada dampak pembangunan kampung susun. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode campuran, dengan terlebih dahulu melakukan penelitian kualitatif untuk menemukenali dampak-dampak penanganan melalui studi kepustakaan dan wawancara. Selanjutnya, penelitian kuantitatif dilakukan untuk menjelaskan dan menganalisis kelayakan pembangunan Kampung Susun Akuarium menggunakan teknik analisis biaya-manfaat sosial berdasarkan hasilan studi kepustakaan, wawancara, dan kuesioner warga. Dengan demikian, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan teoritis dalam keilmuan PWK, khususnya terkait pengaplikasian teknik analisis biaya-manfaat sosial dalam konteks penanganan permukiman kumuh. Selain itu, hasil penelitian ini dapat menjadi masukan terhadap perbaikan intervensi pembangunan dan pengelolaan Kampung Susun Akuarium pada tahap selanjutnya, serta untuk memutuskan suatu kebijakan/program penanganan permukiman kumuh ke depannya.ii Berdasarkan hasil analisis, pembangunan Kampung Susun Akuarium dilakukan di atas tanah aset pemerintah dan berada di sub-zona pemerintahan daerah pada RDTR-PZ, sehingga Pemprov DKI Jakarta memiliki kewenangan melangsungkan fungsi pelayanan publik di atasnya, termasuk pembangunan perumahanpermukiman. Walaupun kurang sesuai dengan zona peruntukan RTH yang ditetapkan pada Rencana Induk Kawasan Kotatua, namun proses pembangunan kampung susun ini sudah mengikuti prosedur dan ketentuan pelestarian cagar budaya yang berlaku. Adapun pembangunan Kampung Susun Akuarium menghasilkan berbagai dampak yang dikelompokkan sebagai komponen biaya sosial dan komponen manfaat sosial, baik yang dapat diukur maupun tidak dapat dikuantifikasikan dalam penelitian ini. Dampak biaya yang dihasilkan terutama adalah biaya pembangunan dan biaya operasional-pemeliharaan bangunan, serta implikasi negatif terkait pertanahan dan pelestarian cagar budaya. Sementara, dampak manfaat yang dihasilkan, di antaranya adalah: penguatan modal sosial dan partisipasi masyarakat, peningkatan kualitas hidup masyarakat dan lingkungan perkotaan, peningkatan nilai lahan, keamanan bermukim warga dari sisi jaminan HAT/bangunan dan kesesuaian penataan ruang, dukungan terhadap pelestarian cagar budaya, serta peningkatan kesejahteraan sosial masyarakat. Adapun, saat ini, sebagian besar warga mengalami penurunan penghasilan rumah tangga akibat perubahan struktur ekonomi rumah tangga, pekerjaan, dan jejaring ekonomi pascapenertiban. Dengan demikian, perbaikan penghidupan masyarakat bergantung pada keberlangsungan atau pengembangan rencana pemberdayaan ekonomi kampung susun ke depan. Dengan menggunakan beberapa asumsi dan perhitungan masa penghunian selama 25 tahun, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pembangunan Kampung Susun Akuarium memberikan nilai manfaat sosial lebih besar dibandingkan nilai biaya sosial yang dikeluarkan. Namun, hasil ini belum mencerminkan kuantifikasi nilai biaya/manfaat sosial terkait keamanan bermukim dan pelestarian cagar budaya, biaya subsidi yang dikeluarkan Pemprov DKI Jakarta, serta bergantung pada skema pengelolaan kampung susun yang – pada saat pengumpulan data penelitian ini – belum ditetapkan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa investasi yang dikeluarkan dalam pembangunan Kampung Susun Akuarium sudah layak secara finansial dibandingkan nilai manfaat sosial yang dihasilkan. Namun, untuk mencapai kemandirian warga dalam pengelolaan kampung susun, kapasitas finansial warga dan/atau koperasi belum sebanding dengan biaya operasionalpemeliharaan yang perlu ditanggung hingga tahun 2047, sehingga diperlukan peningkatan pendapatan unit usaha koperasi warga setidaknya dua kali lebih tinggi dari kondisi saat ini.