digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Parameter fisis perairan yang memiliki pemanfaatan beragam dalam mengetahui fenomena-fenomena lautan adalah suhu air laut. Analisis terhadap suhu air laut membantu menginvestigasi fenomena lautan salah satunya adalah thermal front. Penelitian tentang sebaran spasial thermal front di perairan Indonesia pada dasarnya telah banyak dikaji, namun penelitian yang mengkaji karakteristik thermal front serta menghubungkan fenomena thermal front terhadap kejadian upwelling dan arus eddy masih belum dilakukan secara komprehensif. Tujuan dari penellitian ini adalah menganalisis karakteristik thermal front yang terbentuk pada wilayah laut Indonesia timur, serta mengkaji pengaruh upwelling dan arus eddy terhadap thermal front yang terbentuk. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data SPL dan klorofil-a dari citra satelit AquaMODIS, data arus permukaan, data Rrs 443 nm, serta data Rrs 555 nm dari Marine Copernicus, serta data SLA dari Climate Data Store Catalogue ERA 5. Periode penggunaan masing-masing data adalah 15 tahun yaitu tahun 2006-2020, kecuali data SLA selama 11 tahun (2010-2020). Tahapan pengolahan data dari penelitian ini adalah pengolahan data citra satelit SPL, proses deteksi thermal front dengan metode SIED, pengolahan data klorofil-a, Rrs 443 nm dan Rrs 555 nm, SLA, serta arus permukaan. Data thermal front yang telah diperoleh kemudian dihitung secara statistik untuk melihat variabilitas bulanan serta bulanan klimatologisnya. Kemudian secara spasial dilakukan overlay data thermal front dengan data SPL dan klorofil-a. Setelah itu dilakukan perhitungan matematis dalam bentuk korelasi pearson dari data thermal front bulanan dengan data bulanan variabel SPL dan klorofil-a. Wilayah upwelling ditentukan berdasarkan data SPL, Klorofil-a, serta SLA sedangkan wilayah arus eddy ditentukan berdasarkan arus sirkular yang terbentuk dari arus permukaan yang ditampilkan. Hasil yang penelitian ini menunjukkan bahwa rata-rata thermal front thermal front yang terbentuk selama tahun 2006 hingga tahun 2020 pada wilayah laut Indonesia timur adalah 503 kejadian atau 18.711,188 piksel front ukuran 4x4 km. Jumlah maksimum thermal front ditemukan pada wilayah Teluk Tolo dan Laut Banda (WPPNRI 714) pada bulan Agustus dengan nilai 780 kejadian atau 27.337 piksel ukuran 4x4 km. Jumlah minimum thermal front ditemukan wilayah Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores, dan Laut Bali (WPPNRI 713) dengan nilai 10.008 piksel ukuran 4x4 km pada bulan Desember serta wilayah Laut Sulawesi dan sebelah Utara Pulau Halmahera (WPPNRI 716) dengan nilai 282 kejadian pada bulan Mei. Rata-rata panjang thermal front pada wilayah Laut Indonesia timur adalah 132,448 km dengan durasi rata-rata thermal front yang terbentuk selama 2006-2020 adalah 8 tahun pada lokasi yang sama. Selain itu setiap tahun selama 2006-2020 rata-rata terbentuk 6 bulan front pada lokasi yang sama. Rata-rata korelasi maksimum antara thermal front dan SPL di wilayah laut Indonesia timur ditemukan pada WPPNRI 715 dengan nilai -0,520 dan minimum pada WPPNRI 716 dengan nilai -0,300. Sedangkan rata-rata korelasi positif maksimum antara thermal front dan klorofil-a di wilayah laut Indonesia timur ditemukan pada WPPNRI 715 dengan nilai 0,462 dan minimum pada WPPNRI 716 dengan nilai -0,205. Arus eddy pada wilayah laut Indonesia timur dapat ditemukan pada Teluk Tolo, Laut Banda, Laut Sulawesi, dan utara Laut Halmahera. Persentase rata-rata thermal front yang terbentuk pada wilayah eddy di perairan-perairan tersebut sebesar 35,779%. Rendahnya persentase ini diduga eddy memudahkan proses pencampuran pada perairan, sehingga thermal front lebih cepat terdisipasi. Upwelling di wilayah laut Indonesia timur dapat ditemukan pada wilayah selatan Selat Makassar, Laut Banda, Laut Halmahera, dan Laut Maluku. Persentase rata-rata thermal front yang terbentuk pada wilayah upwelling di perairan-perairan tersebut sebesar 37,186%. Pada wilayah upwelling dapat ditemukan thermal front, namun tidak semua thermal front ditemukan pada wilayah upwelling. Selain itu diduga terdapat lag/lead waktu antara bulan terjadinya upwelling dan bulan terjadinya thermal front maksimum.