digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Sebagai sungai ketiga terbesar di Jawa, Sungai Citarum merupakan sumber pemasok air yang menopang aktivitas domestik, agrikultur, dan industri bagi 25 juta jiwa. Pada tahun 2018, Sungai Citarum menerima predikat sebagai salah satu sungai paling tercemar di dunia. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kondisi geologi, hidrogeologi, dan kualitas air tanah di bagian tenggara lereng Gunung Malabar yang merupakan daerah hulu Sungai Citarum. Dengan pemetaan geologi dan pengamatan air tanah pada area seluas 72km2, data air tanah yang diperoleh disandingkan dengan standar Permenkes Nomor 492 Tahun 2010 Tentang Standar Baku Mutu Air Minum dan analisis indeks kerentanan pencemaran air tanah berdasarkan Ribeiro (2000). Geomorfologi daerah penelitian terdiri dari 10 satuan dengan jenisnya adalah dataran antar gunungapi, lembah antar gunungapi, kerucut gunungapi, dan punggungan piroklastik. Daerah penelitian terbagi menjadi 20 satuan geologi dengan jenis satuannya berupa aliran piroklastik, aliran lahar, jatuhan piroklastik, aliran lava, dan kubah lava. Terdapat struktur primer berupa kekar berlembar dan struktur sekunder berupa sesar pada daerah penelitian. Hidrogeologi daerah penelitian terbagi menjadi 4 akuifer dan 2 akuiklud dengan jenis batuannya berupa tuf vulkanik, breksi piroklastik, breksi laharik, dan andesit. Hasil analisis kualitas air tanah mendapatkan 38 titik mata air penelitian menunjukkan rentang nilai pH sebesar 1.46-7.7 dan nilai TDS 12-779, dengan persebaran 14 titik mata air memenuhi standar pH dan 37 titik mata air memenuhi standar TDS. Selain itu, diperoleh juga indeks kerentanan daerah dengan 10% diantaranya sangat rendah, 16% rendah, 34% sedang, 37% tinggi, dan 3% sangat tinggi. Kemudian, data tersebut divalidasi dengan korelasi indeks kerentanan terhadap kadar pH, kadar SO4 2-, dan kadar Na+ yang menunjukkan nilai rendah, tinggi, dan sedang secara berurutan. Hingga akhirnya, diestimasikan bahwa nilai indeks kerentanan yang dominan tinggi pada area penelitian mungkin diakibatkan oleh proses geokimia dan aktivitas perkebunan.