digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Waduk Saguling dan sekitarnya merupakan sebuah daerah lembahan yang dikelilingi oleh perbukitan yang terbentuk pada zaman Kuarter. Meskipun merupakan bagian tepian Cekungan Bandung, pembahasan geologi di daerah ini masih sangat sedikit. Belum lama ini, fosil vertebrata ditemukan di Pulau Sirtwo, pulau kecil yang terletak di tengah Waduk Saguling. Kelimpahan dan keanekaragaman fosil yang ditemukan di Waduk Saguling ini merupakan catatan baru di wilayah ini, dan kaitannya dengan konteks geologi menjadi penting untuk diteliti. Fokus penelitian ini adalah untuk mempelajari kondisi geologi berupa geomorfologi dan stratigrafi daerah penelitian serta melakukan kajian paleontologi vertebrata untuk menambah keragaman data fosil yang ada di daerah penelitian. Berdasarkan kondisi geologi dan data fosil tersebut kemudian dilakukan interpretasi lingkungan purba. Penelitian ini meliputi pengumpulan data lapangan berupa litologi dan fosil. Data litologi digunakan untuk mengetahui kondisi geologi dengan metode pengamatan singkapan dan data fosil diolah menggunakan metode deskripsi morfologi dan anatomi, NISP (Number of Identified Specimens), serta korelasi biostratigrafi untuk menentukan umur dan lingkungan purba. Area penelitian terdiri dari Satuan Batupasir 1, Satuan Breksi, Satuan Batupasir 2, dan Satuan Tuf – Breksi. Fosil yang hadir di daerah penelitian terdapat pada Satuan Batupasir 2. Total fosil yang diteliti berjumlah 96 fosil yang terdiri dari 27 fosil Bovidae, 13 fosil Cervidae, 3 fosil Elephantidae, dan 53 fosil tidak dapat diidentifikasi. Jenis fosil fauna yang ditemukan cukup beragam, antara lain Bos javanicus, Bubalus bubalis, Rusa unicolor, Axis axis, Muntiactus muntjak, dan Elephas maximus. Dari jumlah fosil tersebut didapatkan nilai NISP kelompok Bovidae sebesar 62,8% (n = 27), Cervidae 30,2% (n = 13), dan kelompok Elephantidae 7% (n = 3). Dari kajian geologi dan paleontologi tersebut diinterpretasikan bahwa fosil yang berada di daerah penelitian setara dengan kelompok fauna Cipeundeuy yang berumur Pleistosen Akhir. Kondisi lingkungan purba di daerah penelitian diinterpretasikan sebagai hutan terbuka dengan perairan yang ditinjau dari keanekaragaman fosil yang ada.