Waduk Saguling dan sekitarnya merupakan sebuah daerah lembahan yang
dikelilingi oleh perbukitan yang terbentuk pada zaman Kuarter. Meskipun
merupakan bagian tepian Cekungan Bandung, pembahasan geologi di daerah ini
masih sangat sedikit. Belum lama ini, fosil vertebrata ditemukan di Pulau Sirtwo,
pulau kecil yang terletak di tengah Waduk Saguling. Kelimpahan dan
keanekaragaman fosil yang ditemukan di Waduk Saguling ini merupakan catatan
baru di wilayah ini, dan kaitannya dengan konteks geologi menjadi penting untuk
diteliti. Fokus penelitian ini adalah untuk mempelajari kondisi geologi berupa
geomorfologi dan stratigrafi daerah penelitian serta melakukan kajian paleontologi
vertebrata untuk menambah keragaman data fosil yang ada di daerah penelitian.
Berdasarkan kondisi geologi dan data fosil tersebut kemudian dilakukan interpretasi
lingkungan purba. Penelitian ini meliputi pengumpulan data lapangan berupa
litologi dan fosil. Data litologi digunakan untuk mengetahui kondisi geologi dengan
metode pengamatan singkapan dan data fosil diolah menggunakan metode deskripsi
morfologi dan anatomi, NISP (Number of Identified Specimens), serta korelasi
biostratigrafi untuk menentukan umur dan lingkungan purba.
Area penelitian terdiri dari Satuan Batupasir 1, Satuan Breksi, Satuan Batupasir 2,
dan Satuan Tuf – Breksi. Fosil yang hadir di daerah penelitian terdapat pada Satuan
Batupasir 2. Total fosil yang diteliti berjumlah 96 fosil yang terdiri dari 27 fosil
Bovidae, 13 fosil Cervidae, 3 fosil Elephantidae, dan 53 fosil tidak dapat
diidentifikasi. Jenis fosil fauna yang ditemukan cukup beragam, antara lain Bos
javanicus, Bubalus bubalis, Rusa unicolor, Axis axis, Muntiactus muntjak, dan
Elephas maximus. Dari jumlah fosil tersebut didapatkan nilai NISP kelompok
Bovidae sebesar 62,8% (n = 27), Cervidae 30,2% (n = 13), dan kelompok
Elephantidae 7% (n = 3). Dari kajian geologi dan paleontologi tersebut
diinterpretasikan bahwa fosil yang berada di daerah penelitian setara dengan
kelompok fauna Cipeundeuy yang berumur Pleistosen Akhir. Kondisi lingkungan
purba di daerah penelitian diinterpretasikan sebagai hutan terbuka dengan perairan
yang ditinjau dari keanekaragaman fosil yang ada.