Peningkatan radiasi matahari pada musim boreal summer selama Holosen Tengah menyebabkan Benua Asia mengalami suhu yang tinggi dibandingkan saat ini. Peningkatan suhu tersebut menyebabkan terjadi peningkatan curah hujan di Asia. Penelitian menggunakan catatan proksi dan simulasi model mengenai perubahan suhu permukaan dan curah hujan secara global selama Holosen Tengah sudah banyak dilakukan. Namun penelitian secara spesifik tentang dampak dari perubahan suhu permukaan laut (SPL) di Samudra Hindia terhadap peningkatan curah hujan di Asia belum banyak dilakukan. Sedangkan dinamika suhu permukaan laut di Samudra Hindia memiliki pengaruh terhadap sebaran curah hujan di Asia. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh dari suhu permukaan laut di Samudra Hindia terhadap peningkatan curah hujan di Benua Asia selama Holosen Tengah dengan Pra-Industri menggunakan analisis multi-model hasil simulasi sembilan Global Climate Model (GCM) dari Paleoclimate Modelling Intercomparison Project Phase-3 (PMIP3) yang terdiri dari dua skenario yaitu Holosen Tengah dan Pra-Industri. Kondisi iklim Pra-Industri akan dijadikan pembanding yang menggambarkan iklim saat ini. Sembilan GCM yang dianalisis pada penelitian ini meliputi BCC-CSM1, CCSM4, FGOLAS-G2, CSIRO MK3-6-0, IPSL-CM5A-LR, MIROC-ESM, MPI ESM-P, MRI-CGCM3, dan GISS-E2-R. Parameter laut-atmosfer yang dipilih adalah suhu permukaan darat (SPD), SPL, angin 850mb, presipitasi, evaporasi, dan moisture flux 850mb yang dirata-ratakan berdasarkan musim boreal summer (Juni-Agustus). Kemudian dilakukan analisis scatter plot untuk melihat sebaran model dari setiap parameter dan dilakukan perhitungan korelasi antar model. Perhitungan korelasi dilakukan untuk melihat korelasi semua model dan CCSM4 dan GISS E2-R.
Analisis multi-model antara angin monsun Asia dengan gradien suhu Asia-Samudra Hindia memiliki nilai korelasi positif sebesar 0,78 untuk semua model. Sedangkan analisis multi-model antara angin monsun Asia (gradien suhu Asia-Samudra Hindia) dengan curah hujan Asia memiliki nilai korelasi negatif sebesar –0,15 (-0,67) untuk semua model dan -0,07 (-0,88) untuk korelasi tujuh model tanpa GISS E2-R dan CCSM4. Gradien suhu Asia-Samudra Hindia dipengaruhi oleh perubahan SPD Benua Asia dan SPL Samudra Hindia, sehingga perubahan suhu dari kedua wilayah tersebut yang memberi pengaruh terhadap hasil korelasi antara gradien suhu Asia-Samudra Hindia dan curah hujan Asia. Sementara hubungan multi-model antara SPD Benua Asia (SPL Samudra Hindia) dengan curah hujan Asia memiliki korelasi positif sebesar 0,30 (0,048) untuk semua model dan 0,30 (0,61) tanpa model CCSM4 dan GISS E2R. Maka berdasarkan hasil korelasi tersebut penurunan SPL Samudra Hindia yang memberikan pengaruh terhadap korelasi negatif yang ditunjukkan antara gradien suhu Asia-Samudra Hindia. Kemudian hubungan evaporasi Samudra Hindia dan curah hujan di Asia pada wilayah yang mengalami peningkatan memiliki korelasi positif sebesar 0,45 untuk korelasi semua model dan 0,43 untuk korelasi tujuh model tanpa CCSM4 dan GISS E2R. Sedangkan hasil analisis multi-model antara SPL Samudra Hindia dan evaporasi Samudra Hindia pada wilayah yang mengalami peningkatan memiliki korelasi positif sebesar 0,06 untuk korelasi semua model dan 0,43 untuk korelasi tujuh model tanpa model CCSM4 dan GISS E2R. Korelasi multi-model antara moisture flux dengan curah hujan Asia (SPL Hindia) menunjukkan nilai -0,40 (-0,17) untuk semua model dan 0,79 (0,57) tanpa model CCSM4 dan BCC-CSM1. Model dengan penurunan SPL terkecil di Samudra Hindia menghasilkan peningkatan evaporasi dan moisture flux terbesar di Samudra Hindia. Ketika aktivitas evaporasi dan moisture flux semakin besar, maka diindikasi uap air yang dihasilkan dari Samudra Hindia dan di transport ke Benua Asia akan semakin besar. Sehingga menghasilkan model dengan peningkatan curah hujan terbesar di Asia.