digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

ABSTRAK Monica Widia Budhi
PUBLIC yana mulyana

Coronavirus disease 2019 atau COVID-19 adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus Corona baru yang disebut oleh Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus-2 atau SARS-CoV-2. Sejak awal pandemi, terapi atau pengobatan spesifik untuk COVID-19 masih belum definitif sehingga dilakukan berbagai upaya pengobatan lainnya seperti pemberian antibiotik. Terdapat kekhawatiran risiko resistensi antibiotik akan meningkat selama pandemi COVID-19 terkait dengan meluasnya penggunaan antibiotik pada pasien COVID-19. Upaya pengendalian penggunaan antibiotik dapat dilakukan dengan evaluasi kuantitatif antibiotik sebelum dan selama pandemi COVID-19. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan dan membandingkan kuantitas penggunaan antibiotik pada periode sebelum dan selama pandemi COVID19 serta menentukan pola penggunaan antibiotik sebelum dan selama pandemi COVID-19 di RSUP. Dr. Hasan Sadikin Bandung yang merupakan salah satu rumah sakit rujukan COVID-19 di Jawa Barat. Kuantitas penggunaan antibiotik dinyatakan sebagai defined daily doses per 100 hari rawat inap (DDD/100) dan drug utilization 90% (DU90%). Desain penelitian berupa studi cross sectional yang bersifat deskriptif dengan pengumpulan data retrospektif pada periode sebelum pandemi COVID-19 (Maret 2018-Februari 2020) dan selama pandemi COVID-19 (Maret 2020-Februari 2022). Hasil penelitian menunjukkan penggunaan antibiotik selama dua tahun sebelum dan dua tahun awal selama COVID-19 pada ruang rawat inap (p = 0,306), ruang Intensive Care Unit/ICU (p = 0,317) dan di kedua ruang tersebut (p = 0,16) memiliki hasil tidak berbeda signifikan. Pola penggunaan antibiotik pada ruang rawat inap dan/atau ICU menunjukkan bahwa antibiotik yang selalu masuk pada segmen 90% antara lain seftriakson, levofloksasin, metronidazol, meropenem dan seftazidim. Pilihan antibiotik pada segmen 90% didominasi oleh antibiotik berspektrum luas, hal ini menunjukkan bahwa terapi antibiotik didominasi oleh terapi empiris sehingga terapi ini harus segera diganti oleh terapi definitif untuk meminimalkan risiko resistensi terhadap antibiotik spektrum luas.