digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

COVER Novita Sari
PUBLIC Roosalina Vanina Viyazza

BAB 1 Novita Sari
PUBLIC Roosalina Vanina Viyazza

BAB 2 Novita Sari
PUBLIC Roosalina Vanina Viyazza

BAB 3 Novita Sari
PUBLIC Roosalina Vanina Viyazza

BAB 4 Novita Sari
PUBLIC Roosalina Vanina Viyazza

PUSTAKA Novita Sari
PUBLIC Roosalina Vanina Viyazza

Salah satu yang luput menjadi pembicaraan saat mendiskusikan perkembangan UMKM di Indonesia adalah dukungan yang juga diberikan oleh Lembaga Keuangan Mikro (Microfinance) kategori non-bank. Terdapat banyak jenis LKM (Lembaga keuangan mikro) pembiayaan yang melayani segmen mikro dan ultra mikro seperti koperasi, BMT (koperasi syariah Baitul Maal wa Tamwil), CU dan Ventura. Kendala distribusi pembiayaan selama pandemic merupakan disrupsi bagi Lembaga keuangan mikro non-bank untuk melakukan Langkah percepatan terhadap digital transformasi. Hal ini dikarenakan pertumbuhan fintech yang kian cepat dan digital banking yang terus bertambah. Lembaga keuangan mikro non-bank seperti ventura perlu mengambil tindakan transformasi digital untuk dapat bersaing dengan fintech yang kian mendisrupsi pasar mikro. Lembaga pembiayaan mikro memiliki segmen didominasi oleh pelaku usaha yang memiliki digital literasi terbatas dan cenderung baru dalam penggunaan media digital. Lembaga keuangan mikro perlu memastikan strategi dan inisiatif transformasi digitalnya sejalan dengan kapasitas dan kebutuhan dari segmen ini. Untuk itulah kenapa author menggunakan Next Billion User sebagai istilah yang menggambarkan segmen ini. Term ini merepresentasikan optimisme perubahan pasar terhadap tantangan digital dan berempati dalam prosesnya. Penelitian ini dilakukan untuk memastikan transformasi digital yang dilakukan oleh Lembaga keuangan mikro bernama Bisa Aja yang telah berjalan selama dua tahun sudah berada dijalur yang diharapkan dari beberapa aspek vital. Tujuan penelitian adalah untuk memahami kompetensi institusi, value proposition yang ditawarkan, dinamika kompetisi dan karakter dari segmen yang dilayani sehingga terformulasi berbagai inisiatif yang dapat memberikan nilai lebih dalam digital transformasi yang dijalankan. Author menggunakan penelitian kualitatif dengan memanfaatkan tools seperti VRIO, Porter’s five forces, Pestel dan menggunakan teori Kenichi Omahae untuk menggali tiga unsur penting yakni perusahaan, konsumen dan kompetisi. Dalam analisisnya, ditemukan adanya gap dalam kapabilitas, kemampuan dalam mendeterminasi bagaimana keterbatasan pelanggan dan persepsi yang tidak cukup jelas dari perusahaan. Ketidakjelasan juga terdapat pada perencanaan strategi digital transformasi yangditerima oleh senior manajemen. Begitu pula persepsi tentang bagaimana performance perusahaan di dalam kompetisi yang ternyata cukup stagnan jika tidak tertinggal. Adapun rekomendasi yang dapat disimpulkan oleh penulis berfokus bagaimana perusahaan bisa segera mengisi kebutuhan resource dan kapabilitas baik dari resource yang dimiliki maupun dari perusahaan0, baik itu dengan cara meminjam, membeli maupun membangun dari internal. Dalam hal kultur, Bisa Aja perlu menegaskan arah perubahan yang diharapkan sehingga transformasi digital dan perilaku manusia di dalam perusahaan berjalan selaras dan tidak terjadi ketimpangan yang berakibat pada kegagalan transformasi.