digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800


BAB 1 Agus Faizin
PUBLIC Roosalina Vanina Viyazza

BAB 2 Agus Faizin
PUBLIC Roosalina Vanina Viyazza

BAB 3 Agus Faizin
PUBLIC Roosalina Vanina Viyazza

BAB 4 Agus Faizin
PUBLIC Roosalina Vanina Viyazza

PUSTAKA Agus Faizin
PUBLIC Roosalina Vanina Viyazza

Pengelolaan sampah masih menjadi masalah yang membutuhkan solusi segera bagi DKI Jakarta. Intermediate Treatment Facilities (ITF) merupakan konsep pengurangan dan pengelolaan sampah melalui suatu teknologi yang merupakan energi terbarukan yang dapat mengurangi jumlah timbunan dari sumbernya dan mengurangi emisi, yang dalam proses pengolahannya dapat dimanfaatkan menjadi produk energi ( listrik). ITF berbasis pada konsep waste to energy dengan memanaskan sampah ke dalam ruangan tertutup yang disebut incinerator. Proyek ini disebut-sebut sebagai salah satu tempat pengolahan sampah terbesar di dunia karena mampu mengolah 2.000 ton/hari sampah. Pengolahan dan pemanfaatan sampah di berbagai daerah diharapkan menjadi salah satu solusi untuk mengurangi beban sampah di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantar Gebang. Juga sebagai tindak lanjut Perpres 35/2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolahan Sampah Menjadi Tenaga Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan dan sebagai kontribusi dalam percepatan kerjasama Pemerintah Kota Jakarta dan warganya dalam mengoptimalkan energi bersih yang berkelanjutan tanpa bergantung pada bahan bakar fosil, sesuai dengan Perjanjian Paris 2015. Wilayah Pelayanan Barat ITF merupakan Sarana Pengolahan Sampah Menengah di kota Jakarta yang akan dibangun untuk melayani pengolahan sampah yang bersumber dari tempat pembuangan sampah di wilayah Pelayanan Barat sesuai dengan Surat Keputusan Kepala Badan Lingkungan Hidup DKI Jakarta No. 489/2020 (sebagai perubahan SK DLH no. 453/2019) yang mengacu pada penugasan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta kepada Jakpro melalui Pergub 65/2019. PT Emas Hijau Energi terpilih sebagai mitra proyek ITF dengan PT Jakarta Propertindo (Perseroda). Dalam penelitian ini dilakukan penilaian kelayakan proyek Waste to Energy. Analisis internal dan eksternal seperti: metode analisis PESTLE, SWOT & Porter Five Forces, dan juga termasuk Strategi Pemasaran 4P dan Analisis Risiko dilakukan sebelum mengembangkan model bisnis dan menghitung kelayakan finansial. Dalam penelitian ini, untuk menentukan alternatif dilakukan asumsi dan pertimbangan berdasarkan studi pustaka, wawancara dengan pakar dan pihak yang berkepentingan. Terdapat 4 variabel yang menjadi kriteria dalam skenario alternatif yaitu Availability Factor (AF) pembangkit, tarif listrik, tipping fee dan pemanfaatan Fly Ash Bottom Ash (FABA). Untuk AF pembangkit listrik ada 3 alternatif yaitu 95%, 85% dan 75%. Untuk tarif listrik alternatif yang dipilih adalah USD 14,54 sen /kWh, USD 11,63 sen /kWh dan USD 10,82 sen /kWh. Untuk tipping fee, alternatif yang dipilih adalah Rp. 728.000 /ton, Rp. 650.000 /ton dan Rp. 500.000 /ton. Sedangkan untuk pemanfaatan FABA, alternatif yang dipilih adalah 30%, 10% dan 0%. Perhitungan skenario optimis menunjukkan hasil Internal Rate Return (IRR) proyek sebesar 11.56% dan Payback Period (PP) 10 tahun 3 bulan, serta hasil Internal Rate Return (IRR) ekuitas sebesar 6.01% dan Payback Period (PP) 18 tahun 10 bulan. Perhitungan untuk skenario sedang menunjukkan hasil IRR proyek sebesar 9.99% dan PP 19 tahun 4 bulan, serta IRR ekuitas sebesar 2.48% dan PP 25 tahun 4 bulan. Perhitungan untuk skenario pesimis menghasilkan IRR proyek sebesar 5.67% dan PP 24 tahun 4 bulan dan hasil IRR ekuitas sebesar -0.77% dan PP lebih dari 30 tahun. Setelah dilakukan perhitungan studi kelayakan finansial, diperoleh hasil bahwa proyek ITF Jakarta Barat layak dan dapat dilaksanakan untuk skenario optimis dan moderat, dan tidak layak untuk skenario pesimis. Jika suatu proyek tidak layak, tindakan dapat diambil untuk membuat proyek layak. Tindakan tersebut dapat berupa pengurangan belanja modal, peningkatan pendapatan, penurunan belanja operasional, meminimalkan biaya modal, atau bahkan mencari subsidi modal. Selain itu, rencana pelaksanaan proyek pembangkit tenaga listrik perlu mempercepat masa konstruksi dari 2 tahun 9 bulan menjadi hanya 2 tahun. Saat ini, dukungan dari pemerintah hanya sebatas kebijakan subsidi melalui tarif listrik dan tipping fee. Kedepannya juga diharapkan melalui dukungan finansial proyek Private-Public Partnership (PPP) dapat membantu sebagian biaya konstruksi melalui Viability Gap Funding (VGF) untuk proyek yang secara ekonomi layak tetapi tidak layak secara finansial. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan profitabilitas proyek dan mendukung pembentukan proyek yang menguntungkan secara ekonomi dengan profitabilitas rendah.