digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Indonesia dihadapkan pada kondisi kurangnya pasokan energi listrik. Program Pengadaan Pembangkit Listrik 35.000 MW yang dicanangkan pemerintah menimbulkan permasalahan berupa kebutuhan dana investasi yang besar dan adanya potensi peningkatan emisi CO2. PT. PLN (Persero) berencana menggunakan PLTU batubara kelas 1.000 MW dengan teknologi ultrasupercritical (USC). Teknologi USC akan memberikan efisiensi yang lebih baik dan emisi CO2 yang lebih rendah dibandingkan teknologi Subcritical (Sub) yang saat ini digunakan di Indonesia. Penurunan emisi CO2 yang dihasilkan akan dimanfaatkan untuk memperoleh pendanaan karbon. Untuk memanfaatkan pendanaan karbon dari penggunaan teknologi USC terlebih dahulu perlu diketahui besar emisi CO2 dari PLTU eksisting dan potensi reduksi emisi yang dapat dihasilkan. Selanjutnya dapat diketahui potensi pendanaan karbon dan dampak pendanaan karbon dalam pembangunan dan operasional PLTU USC di Indonesia. Perhitungan emisi CO2 dari PLTU eksisting dilakukan berdasarkan data konsumsi bahan bakar PLTU PT. PLN (Persero). Penurunan emisi dihitung dengan metodologi IPCC 2006. Pemilihan mekanisme pendanaan karbon terbaik dilakukan dengan metode Net Present Value (NPV) dan perbandingan pendanaan per unit produksi listrik. Analisis dampak dilakukan dengan metode NPV dan Benefit Cost Ratio (BCR). PLTU berbahan bakar batubara yang saat ini beroperasi di Indonesia menghasilkan emisi CO2 sebesar 0,00086 Gg CO2/MWh. Dengan penggunaan teknologi USC pada 6 PLTU yang direncanakan, Indonesia berpotensi menghasilkan penurunan emisi sebesar 13.706 Gg CO2. JCM dengan skenario 100% biaya konstruksi ditanggung oleh Pihak Jepang adalah mekanisme yang paling menguntungkan bagi Indonesia. Pendanaan karbon belum dapat menutupi seluruh biaya yang diperlukan oleh PLTU USC. Namun pendanaan karbon berpengaruh menjadikan pembangunan, operasional, dan perawatan PLTU USC bersifat ekonomis untuk dilaksanakan.