Pertanian digital muncul sebagai metode baru untuk mengelola koordinasi secara
efektif di bidang pertanian. Ini meningkatkan sistem pertanian dengan memperkuat
koordinasi pertanian melalui berbagi pengetahuan yang memadai sebagai hasil
dari berbagi data dan informasi. Sayangnya, tingkat adopsi teknologi pertanian
digital oleh petani kecil di Indonesia masih rendah. Dimensi kepribadian dan
motivasi petani yang rendah menjadi penyebab rendahnya tingkat adopsi ini.
Dengan pertimbangan tersebut, penting untuk menentukan kebijakan yang tepat
untuk meningkatkan adopsi, terutama platform digital di kalangan petani,
khususnya di Indonesia. Seperti yang disebutkan sebelumnya, penulis
menggunakan karakteristik motivasi yang diwakili dalam teori pencapaian tujuan
sebagai teori yang mendasari untuk menentukan pola adopsi teknologi di kalangan
petani. Pencapaian tujuan dianggap sebagai (cukup) standar kompetensi tertentu
dan penggambaran kognitif yang berfokus pada kemungkinan berbasis kompetensi.
Menurut teori ini, individu dapat dikelompokkan menjadi empat karakteristik:
pendekatan penguasaan, penghindaran penguasaan, pendekatan kinerja, dan
penghindaran kinerja. Dengan melakukan pemodelan dan simulasi berbasis agen,
penelitian ini mengambil pendekatan yang berbeda dengan mengusulkan
gamifikasi dalam pemanfaatan platform digital, yang bertujuan untuk
meningkatkan partisipasi dalam koordinasi rantai pasokan. Selain itu, penelitian
ini mencoba melihat koordinasi rantai pasokan pertanian dari perspektif baru
Pertanian 4.0, sedangkan penelitian sebelumnya tentang koordinasi rantai pasokan
pertanian terkait erat dengan contract to farm. Studi kasus di Komunitas Petani
Muda Keren Bali dilakukan dalam penelitian ini untuk mengeksplorasi dan
memodelkan adopsi platform digital di antara para petani di komunitas. Untuk
menjembatani koordinasi antara petani dan koperasi, masyarakat membangun
platform berbasis mobile bernama Bali Organik Subak (BOS). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pendekatan penguasaan dan pendekatan kinerja berpengaruh
signifikan terhadap adopsi tingkat dibandingkan dengan jenis lainnya. Selain itu,
simulasi model yang diusulkan dengan gamification menunjukkan bahwa ketika
probabilitas adopsi meningkat ke nilai terkecil 10% dengan adanya gamification,