digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

ABSTRAK Muhammad Budi Utomo
PUBLIC Yoninur Almira

BAB 1 Muhammad Budi Utomo
PUBLIC Yoninur Almira

BAB 2 Muhammad Budi Utomo
PUBLIC Yoninur Almira

BAB 3 Muhammad Budi Utomo
PUBLIC Yoninur Almira

BAB 4 Muhammad Budi Utomo
PUBLIC Yoninur Almira

BAB 5 Muhammad Budi Utomo
PUBLIC Yoninur Almira

BAB 6 Muhammad Budi Utomo
PUBLIC Yoninur Almira

PUSTAKA Muhammad Budi Utomo
PUBLIC Yoninur Almira


Aktivitas transportasi, pada pelaksanaannya, memiliki pengaruh terhadap kesehatan masyarakat. Dampak-dampak tersebut dapat diklasifikasikan menjadi dampak terhadap lingkungan; aksesibilitas masyarakat terhadap fasilitas kesehatan dan fasilitas sosial; keselamatan pengguna jalan; pemilihan moda yang berdampak pada gaya hidup; dan penularan penyakit. Dengan adanya ancaman penurunan kesehatan dan peluang peningkatan kesehatan melalui aktivitas transportasi, pengarusutamaan unsur kesehatan dalam perencanaan dan implementasi transportasi menjadi krusial. Berdasarkan UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, urusan perhubungan dan kesehatan merupakan urusan yang tergolong ke dalam urusan konkuren. Sebaga alat untuk menyelenggarakan urusanurusan tersebut, maka pemerintah pusat dan pemerintah daerah berwenang untuk menyusun kebijakan publik. Fenomena aglomerasi dalam perkotaan Jabodetabek membuat pembagian wewenang pengurusan transportasi menjadi tidak terbatas pada batas administratif masing-masing Kota/Kabupaten. Padahal dengan status DKI Jakarta sebagai Wilayah Perkotaan Inti dalam Peraturan Presiden No. 60 tahun 2020 setiap harinya menerima hingga 1.2 juta komuter yang berasal dari kota/kabupaten di sekitar DKI Jakarta. Oleh karena itu, pada tahun 2018 diterbitkan Peraturan Presiden No. 55 tahun 2018 tentang Rencana Induk Transportasi Jabodetabek (RITJ) sebagai pedoman bagi pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam perencanaan pembangunan, pengembangan, dan pengelolaan serta pengawasan transportasi di Jabodetabek. Dengan mengacu pada adanya peluang peningkatan kesehatan dan ancaman penurunan kesehatan yang turut terjadi di Jakarta sebagai kota inti dari perkotaan Jabodetabek, maka penelitian ini bertujuan untuk ā€œMengidentifikasi pengakomodasian aspek kesehatan masyarakat dalam proses perumusan dan substansi kebijakan transportasi Jabodetabek dengan berfokus pada fungsi sentralitas DKI Jakarta dalam konstelasi perkotaan Jabodetabekā€. Adapun metode dan pendekatan yang digunakan dalam penelitian terbagi ke dalam sasaran-sasaran yang ingin dicapai yakni metode deskriptif kualitatif untuk a) menggambarkan kondisi eksisting transportasi di DKI Jakarta dalam sudut pandang kesehatan masyarakat dan b) mendeskripsikan derajat pengakomodasian unsur kesehatan masyarakat dalam pross perumusan kebijakan RITJ. Sementara itu, metodeiii deskriptif kuantitatif dilakukan untuk memetakan pengakomodasian substansi aspek kesehatan masyarakat dalam RITJ. Pada tinjauan kondisi eksisting transportasi di DKI Jakarta dalam sudut pandang kesehatan masyarakat, ditemukan bahwa dampak transportasi terhadap lingkungan berpengaruh terhadap polusi udara (khususnya PM2.5) dan emisi Gas Rumah Kaca yang dapat dapat menyebabkan penyakit seperti Asma, PPOK, Stroke, Leukemia, dan Kanker Paru-Paru. Dari segi kecelakaan lalu lintas, meskipun terjadi penurunan jumlah kematian akibat kecelakaan, terdapat ancaman bagi pelaku transportasi aktif (berjalan kaki dan bersepeda) karena minimnya prasarana penunjang seperti trotoar dan jalur sepeda. Minimya trotoar dan jalur sepeda ini, selain berpengaruh terhadap keselamatan pengguna jalan, juga mengurangi kenyamanan untuk menggunakan transportasi aktif. Hal ini tercermin dari tingkat peggunaan transportasi aktif dan transportasi umum yang hanya berkisar 21.57% dari total perjalanan komuter di Jabodetabek. Minimnya penggunaan transportasi aktif berpeluang mengurangi ketercapaian kebutuhan aktivitas fisik mingguan sehingga dapat meningkatkan risiko berbagai peyakit seperti penyakit kardiovaskular, diabetes, kanker payudara, dan kanker kolon, yang mana turut diakibatkan oleh terpapar polusi udara. Peyakit kardiovaskular sendiri menyumbang hingga 38% penyebab kematian di DKI Jakarta. Meski demikian, pada bagian aksesibilitas terhadap fasilitas kesehatan dan fasilitas sosial, ketercakupan angkutan umum terhadap fasilitas-fasilitas tersebut berkisar di atas 85%. Proses pembuatan kebijakan transportasi yang dilakukan oleh Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) selaku koordinator RITJ dilakukan dengan melibatkan banyak aktor dan pendekatan yang beragam disesuaikan dengan kebutuhan. Proses Penyusunan Agenda dan Penstrukturan Masalah dilakukan dengan model Mobilisasi, yang mana sumber isu dan permasalahan diinisiasi dari pihak pemerintah. Pada tahap Perumusan Kebijakan dan Pemilihan Alternatif, terdapat tiga faktor yang berpengaruh yakni biaya-manfaat, kesanggupan stakeholder, dan faktor politis. Implementasi dilakukan oleh masing-masing pihak yang berwenang dan evaluasi dilakukan setiap tahun dan 5 tahun sekali. Pada penelusuran kriteria-kriteria proses pembuatan kebijakan transportasi yang megakomodasi kesehatan masyarakat, BPTJ tidak melakukan Analisis Dampak Kesehatan, tidak mengikutsertakan dan tidak mempertimbangkan pihak dari kesehatan masyarakat dan partisipasi masyarakat secara langsung. Meskipun demikian, unsur penataan ruang menjadi pihak yang dilibatkan dan dipertimbangkan berkenaan dengan arahan dari RITJ itu sendiri. Berdasarkan pengumpulan survei terhadap 227 responden yang bermukim di Jabodetabek, didapatkan bahwa mayoritas responden memiliki persepsi bahwa kebijakankebijakan yang tercantum di RITJ memiliki pengaruh terhadap peningkatan kesehatan melalui pengurangan polusi udara, peningkatan aksesibilitas terhadap fasilitas kesehatan dan fasilitas sosial, peningkatan keselamatan, dan peningkatan dorongan untuk menggunakan transportasi aktif. Dari hasil analisis yang telah dilakukan, maka dapat dilakukan perumusan rekomendasi terhadap sistem transportasi di DKI Jakarta, yakni masih diperlukannya peningkatan kesehatan masyarakat yang diakibatkan aktivitasiv transportasi di DKI Jakarta melalui intervensi pemerintah dan diperlukannya proses pelaksanaan pembuatan kebijakan agar lebih mengakomodasi kesehatan.