digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

ABSTRAK Cece Juarsa
PUBLIC Yoninur Almira

BAB 1 Cece Juarsa
PUBLIC Yoninur Almira

BAB 2 Cece Juarsa
PUBLIC Yoninur Almira

BAB 3 Cece Juarsa
PUBLIC Yoninur Almira

BAB 4 Cece Juarsa
PUBLIC Yoninur Almira

BAB 5 Cece Juarsa
PUBLIC Yoninur Almira

BAB 6 Cece Juarsa
PUBLIC Yoninur Almira

PUSTAKA Cece Juarsa
PUBLIC Yoninur Almira


Permasalahan mobilitas perkotaan di Kawasan Perkotaan Cekungan Bandung merupakan salah satu isu strategis kawasan. Tingginya penggunaan kendaraan pribadi yang tidak sebanding dengan pertambahan kapasitas jalan telah menyebabkan kemacetan yang kronis serta peningkatan penggunaan bahan bakar fosil dan emisi gas rumah kaca. Pengelolaan angkutan umum hingga saat ini belum memecahkan permasalahan mobilitas perkotaan yang terjadi secara lintas wilayah kabupaten/kota di Kawasan Perkotaan Cekungan Bandung. Oleh karena itu, diperlukan perencanaan mobilitas perkotaan yang terintegrasi dengan menggunakan konsep mobilitas perkotaan berkelanjutan sesuai dengan amanat target 11.2 SDGs dan NUA. Namun demikian, konsep mobilitas perkotaan berkelanjutan cukup sulit untuk diterapkan karena adanya hambatan-hambatan yang muncul untuk mewujudkannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi hambatan utama dalam mewujudkan mobilitas perkotaan berkelanjutan di Kawasan Perkotaan Cekungan Bandung dengan menggunakan pendekatan kuantitatif dan kategori sifat penelitian deskriptif. Untuk mencapai tujuan tersebut dilakukan penyebaran kuesioner kepada para ahli yang terlibat dalam perencanaan dan implementasi rencana mobilitas perkotaan berkelanjutan di Kawasan Perkotaan Cekungan Bandung. Kuesioner pertama untuk memperoleh verifikasi terhadap daftar hambatan hasil tinjauan pustaka. Hasilnya diperoleh sebanyak tujuh belas sub faktor, dengan rincian satu sub faktor merupakan hambatan dalam penyusunan rencana mobilitas perkotaan berkelanjutan, lima sub faktor merupakan hambatan dalam implementasi rencana mobilitas perkotaan berkelanjutan, dan sebelas sub faktor merupakan hambatan dalam penyusunan rencana maupun implementasinya, yang dikelompokkan ke dalam lima faktor, yaitu: (1) hukum dan kelembagaan, (2) anggaran, (3) sosial dan budaya, (4) praktis dan teknologi, dan (5) karakteristik kota. Kuesioner kedua untuk memperoleh bobot nilai kepentingan prioritas dari setiap faktor dan sub faktor dalam daftar hambatan yang telah terverifikasi tersebut dengan menggunakan metode analytic hierarchy process (AHP). Hasilnya diperoleh tiga faktor yang menjadi hambatan utama dalam perencanaan dan implementasi rencana mobilitas perkotaan berkelanjutan karena memiliki pengaruh yang besar dan sangat penting untuk mewujudkan mobilitas perkotaan berkelanjutan di Kawasan Perkotaan Cekungan Bandung, yaitu: (1)ii hukum dan kelembagaan, (2) anggaran, dan (3) sosial dan budaya. Hasil lainnya diperoleh sepuluh sub faktor yang menjadi hambatan utama dalam perencanaan dan implementasi rencana mobilitas perkotaan berkelanjutan di Kawasan Perkotaan Cekungan Bandung, yaitu: (1) kurangnya integrasi antara kebijakan transportasi dan penggunaan lahan, (2) tumpang tindihnya kewenangan dan kurangnya koordinasi antara kelembagaan baik secara vertikal maupun horizontal dalam perencanaan dan implementasi rencana mobilitas perkotaan berkelanjutan, (3) keterbatasan anggaran pemerintah daerah untuk berinvestasi dalam moda transportasi yang lebih berkelanjutan, (4) kurangnya keterlibatan pemangku kepentingan dalam perencanaan dan implementasi rencana mobilitas perkotaan berkelanjutan, (5) kurangnya payung hukum untuk penyusunan rencana dan implementasi rencana mobilitas perkotaan berkelanjutan, (6) kurangnya dukungan dan penerimaan publik terhadap perencanaan dan implementasi rencana mobilitas perkotaan berkelanjutan, (7) konflik antara kebijakan mobilitas perkotaan berkelanjutan dengan kebijakan lain, (8) keterbatasan subsidi anggaran dari pemerintahan yang lebih tinggi untuk implementasi rencana mobilitas perkotaan berkelanjutan, (9) keterbatasan anggaran pemerintah daerah untuk perumusan rencana dan implementasi rencana mobilitas perkotaan berkelanjutan, dan (10) ketidaktersediaan data dan informasi untuk perumusan rencana dan implementasi rencana mobilitas perkotaan berkelanjutan.